Soto yang Menghangatkan Hubungan Antaragama di Perguruan Tinggi Kristen
Jumat, 1 November 2024 | 07:30 WIB
Para santri program non-degree Kementerian Agama saat tiba di apartemen Lutheran School of Theology at Chicago (LSTC), sebuah perguruan tinggi Kristen di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. (Foto: dok. istimewa/Syakir)
Chicago, NU Online
Kuah soto itu masih mengepulkan asap saat penutup pancinya dibuka. Api kecil masih menyala dari kompornya. Tegar Setyawan menikmatinya sesaat setelah tiba di apartemen Lutheran School of Theology at Chicago (LSTC), sebuah perguruan tinggi Kristen di Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Baginya, itu satu kenikmatan yang menghangatkan suasana tubuh dan batinnya. Betapa tidak, setelah lebih dari 24 jam penerbangan dari Indonesia, dan cuaca belasan derajat celcius yang cukup membuat tubuh kedinginan, soto hadir di hadapannya. Hal tersebut juga disajikan oleh umat Kristiani untuk menyambutnya sebagai Muslim.
"Ya, itu menghangatkan harmoni kita sebagai sesama manusia," kata pria asal Palembang, Sumatra Selatan itu pada Selasa (29/10/2024).
Santri Pondok Pesantren Life Skill Daarun Najaah Semarang, Jawa Tengah itu menyampaikan bahwa LSTC sebagai tuan rumah betul-betul memberikan pelayanan terbaik, sampai hal terkecil pun disediakan. Gayung, misalnya, yang cukup berarti bagi Muslim Indonesia untuk bersuci.
"Sampai gayung pun disediakannya," kata alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.
Tegar merupakan salah satu dari 20 peserta Micro Credential, program Interfaith and Intrafaith Dialogue, di American Islamic College (AIC) Chicago bekerja sama dengan LSTC. Keberangkatannya itu atas beasiswa dari Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Abadi Pendidikan (LPDP) dan USAID Teman LPDP.
Sementara itu, Sweetry Noverlindra Sitohang, mahasiswa LSTC asal Indonesia, menyampaikan bahwa soto dipilih untuk disajikan kepada 20 peserta program itu karena sejumlah hal. Pertama, ia mengetahui mereka bakal tiba malam hari. Soto dengan kuah panas dan sedikit pedas dapat memberikan kehangatan tersendiri.
Di samping itu, tentu saja karena bahan-bahannya yang tersedia di toko di Chicago. Hal lain adalah karena soto dikenal sivitas akademika LSTC.
"Karena, pertama kali ada global conversation di mana kita ceritain negara kita masing-masing, kami nyiapinnya soto," ujar mahasiswa magister teologi itu.
Ia merasa senang dengan kehadiran para santri dan pengajar pesantren di tempatnya. Interaksi dengan Muslim merupakan hal lumrah baginya, tetapi dengan para santri, terlebih di 'pesantren' Kristen, tentu menjadi satu hal menarik baginya.
"Kedatangan teman satu bahasa. Happy karena jarang teman Muslim datang yang hosting-nya 'Pesantren Kristen'," ujar perempuan asal Bengkulu itu.
Interfaith menjadi satu hal yang selalu dibangun LSTC melalui lembaga khusus yang dinamai Center of Christian-Muslim Engagement for Peace and Justice (CCME). Lembaga itu menggelar buka bersama juga saat Ramadhan tiba.
Direktur CCME Sara Trumm menyampaikan bahwa kerja sama LSTC dan AIC sudah terjalin sejak lama, tepatnya pada tahun 1990-an. "Ini penting untuk memiliki mahasiswa dari dua institusi ini dan pengajar dari dua kampus ini," ujarnya.
Kerja sama ini, menurutnya, menjadi sebuah kesempatan lebih untuk mendalami hubungan dalam membangun perdamaian dan harmoni, khususnya dalam Islam dan Kristen. Dari sisi akademik, LSTC juga memiliki mata kuliah Al-Qur'an dan Bibel.
"Kami tidak bisa berhenti bicara satu sama lain untuk mendalami hubungan ini," ujarnya.
Sedari dulu, kerja sama AIC dan LSTC tidak hanya bidang akademik, tetapi juga dalam budaya. Karenanya, ada kegiatan bermusik hingga program ini.
"Secara personal, saya senang interaksi budaya ini, khususnya agama sebagai aspek budaya yang penting bagi saya," katanya.
"Kepercayaan saya kepada Tuhan terus meningkat dengan melihat kepercayaan orang lain kepada Tuhan," imbuhnya.
Presiden AIC Timothy J Gianotti menegaskan bahwa ia menaruh kepercayaan penuh pada LSTC dalam bekerja sama dalam program Micro Credential ini karena sudah sejak dahulu terbangun.
"Kita bisa melakukan kerja sama lebih dengan teman-teman kami. Dan ketika kita sampaikan tentang program ini, LSTC sangat bergembira dengan kemungkinan kerja samanya," ujarnya.
"Mereka menyediakan apartemen, kelas, dan lainnya," imbuh akademisi yang mendalami pemikiran Imam Ghazali itu.
Kerja sama ini juga terbangun dengan adanya lembaga di LSTC yang dipimpin Sara itu.
Sementara itu, Timothy juga menegaskan bahwa program Micro Credential yang diikuti para santri dan pengajar di pesantren ini merupakan kesempatan untuk berdiskusi mengenai budaya masing-masing.
"Kita juga ingin kirim mahasiswa ke Indonesia. Ini adalah awal mula untuk membuatnya lebih besar. Kita bangun jembatan ini," pungkasnya.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI