Ada yang unik dalam tradisi keagamaan di Maroko ketika disandingkan dengan tradisi kalangan muslim di negera-negara bagian timur, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan sekitarnya. salah satu faktornya karena mayoritas muslim di Maroko menganut madzhab Maliki, bukan madzhab Syafi’i seperti mayoritas muslim di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.
<>
Berbicara mengenai tradisi perayaan Idul Adha atau Idul Qurban di Maroko menjadi hal yang menarik, mulai tentang pelaksanaan shalat Ied yang sering kali berbeda satu hari (biasanya lebih akhir) dari Kerajaan Arab Saudi hingga prosesi penyembelihan hewan qurban.
Soal perbedaan waktu pelaksanaan shalat Ied, hampir setiap tahun Maroko tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia. Tidak hanya dalam pelakasanaan shalat Idul Adha, hal serupa juga terjadi dalam Idul Fitri.
Menurut pengamatan penulis, dalam hal ini lebih mengarah kepada soal politik antara kerajaan Maroko dan kerajaan Arab Saudi. Sempat juga penulis tanyakan ke salah seorang pejabat di Wizaratul Auqaf wa Su’un al Islamiyyah (kementerian wakaf urusan Islam) yang mana ia juga dosen penulis, sekaligus pembimbing karya Ilmiah penulis, ia mengatakan, soal ini saya tidak bisa memberikan komentar atau jawaban, ini adalah urusan raja. Tentu dari situ penulis langsung paham bahwa ini sebenarnya ada unsur politik. Wallahu alam.
Adapun mengenai penyembelihan hewan qurban, masyarakat muslim Maroko mempunyai tradisi yang jarang sekali, bahkan tidak pernah dilakukan oleh mayoritas muslim di Indonesia. Semangatnya dalam berqurban bisa jadi mengalahkan semangatnya kaum muslimin di tanah air. Dalam hari raya qurban seperti ini, biasanya raja Mohamed Sadis pun ikut serta dalam penyembelihan hewan qurban.
Di Maroko, hari raya Idul Adha itu lebih dikenal dengan sebutan Ied Kabir (hari raya besar), dimana ketika Idul Adha semua anggota keluarga berkumpul menjadi satu, bahkan anggota keluarga yang sedang merantau di kota lain pun rela pulang ke kampung halamannya demi merayakan Idul adha yang penuh dengan kebahagiaan dan kebersamaan. Jadi, momen idul adha di Maroko itu sangat berarti sekali bagi mereka. Bisa dibilang Idul adha menjadi momen yang lebih sakral dibanding dengan Idul Fitri, pasalnya mereka mempunyai tradisi khusus dalam perayaannya.
Di hari raya Idul Adha hampir setiap rumah berqurban, sampai keluarga miskin pun turut berqurban. Dalam berqurban, kebanyakan dari mereka itu menyembelih domba. Jarang sekali penulis temui anggota keluarga yang berqurban dengan seekor sapi. Malah terkadang dalam satu keluarga tidak hanya memotong seekor domba, bahkan bagi yg lebih mampu dari segi ekonomi, mereka memotong hewan qurban bisa sampai dua atau tiga ekor. Tradisi seperti ini sudah turun-temurun dan mengakar di kalangan mereka, sehingga menjadikan hari raya Qurban lebih meriah.
Pada tanggal 10 Dzulhijah atau hari raya pertama, seperti biasa, pelaksanaan shalat Ied di seluruh masjid-masjid di Maroko menunggu terlebih dahulu pelaksanaan shalat Ied di qasr al-Malik (istana Raja), setelah pihak istana memulai shalat Ied, barulah seluruh masjid-masjid turut memulainya. Konon, di tahun 2000 an sang raja pernah terlambat dalam melaksanakan shalat Ied hingga menjelang siang. Akhirnya seluruh masjid-masjid pun ikut terlambat juga.
Setelah usai pelaksanaan shalat Ied berjamaah di masjid atau di lapangan, kemudian mereka melanjutkan aktifitas penyembelihan hewan qurban di rumah masing-masing. Yang menarik, jika di tanah air setelah hewan qurban itu disembelih, maka dagingnya langsung dibagikan kepada yang berhak menerimanya, lain hal nya di Maroko. Setelah disembelih, daging qurban itu kemudian digantung secara utuh setelah dikuliti, diambil jeroan (bagian dalamnya) dan kepalanya. Daging qurban itu mereka gantung di dapur rumahnya bisa sampai dua hari, sebelum dipotong-potong untuk dimasak dan disimpan dalam mensin pendingin (freezer) untuk dimasak sehari-hari secara bertahap.
Biasanya, yang pertama kali mereka masak ialah jeroan (babat, usus, limpa dsb.). Kemudian mereka memakannya secara bersama-sama dengan anggota keluarganya, terkadang juga mengundang tetangga dan kerabatnya. Tidak jarang pula mereka mengundang penulis dan para mahasiswa asing yang tengah menimba ilmu di negerinya, sekalian untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka di hari raya. Biasanya jamuan makan seperti ini dilakukan di malam hari. Dalam kesempatan seperti ini, tak lupa juga sang tuan rumah mengundang seorang da’i yang akan memberikan siraman rohani, sesaat sebelum menyantap menu yg telah ia siapkan. Saat kami pulang dari undangan makan tersebut, sering kali mendapatkan pemberian daging qurban, baik yang masih mentah ataupun sudah dimasak dengan menu khas masakan Maroko.
Demikianlah sekilas rangkaian tradisi Idul Adha yang biasanya dilakukan masyarkat muslim Maroko. Semoga para pembaca segera mendapatkan kesempatan berkunjung ke Negeri para wali ini. Amin.
Muannif Ridwan, Santri di Ma’had Imam Nafie, Tanger, Maroko (2010-2013) dan sekarang peserta program pascasarjana Prodi Pemikiran Islam Universitas Islam Jakarta.
Foto: Raja Maroko Mohamed Sadis sedang menyembelih hewan Qurban