Wakil Katib PWNU Jakarta KH. Taufik Damas dalam acara Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta. (Foto: dok. NU Online Jakarta)
Jakarta, NU Online
Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas menjelaskan ciri dari seorang mursyid (guru spiritual). Menurutnya, ciri seorang mursyid yang pertama, dia adalah seorang yang ‘alim. Menurutnya, kealiman seorang mursyid dibuktikan dengan buah karya tulisnya.
“Untuk mengetahui tanda-tanda seseorang sudah pantas diangkat menjadi mursyid, pertama, ia harus alim. Alim di sini dapat dibuktikan melalui karya tulis baik buku atau dalam bentuk apa pun,” ujar Kiai Taufik dalam keterangan tertulisnya yang diterima NU Online Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Lebih lanjut, Kiai Taufik menekankan tokoh-tokoh tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sekalipun adalah orang-orang yang telah berhasil melahirkan berbagai karya ilmiah di berbagai bidang. Misalnya, Sulthonul Awliya’ (pemimpin para wali) Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hasan Asy-Syadzili, Imam Al-Ghazali dan lain-lain.
“Hal ini penting ditegaskan agar orang tidak mudah masuk dalam kubang ketertipuan spiritual yang cukup merebak akhir-akhir ini,” tegasnya.
Kiai Taufik menuturkan di kota besar seperti Jakarta tidak sedikit pula kelompok spiritualis dengan tokoh sentral yang dianggap sebagai guru spiritual. Namun, tokoh-tokoh sentral tersebut tidak pernah diketahui rekam jejaknya dalam intelektualitas, apalagi dalam spiritualitas.
“Mereka hanya mampu menyampaikan racikan spiritualitas instan secara oral dan tidak dapat menjelaskannya secara tertulis atau ilmiah,” tuturnya.
Kemudian, Kiai Taufik melanjutkan bahwa seorang mursyid harus memiliki akhlak mulia dan pengalaman spiritual yang sudah mendarah daging berkat riyadhah atau usaha ibadahnya. Pengalaman spiritual tersebut memancar menjadi akhlak seperti sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah, qanaah (tidak serakah), pengasih, tawadhu, shiddiq, pemalu (haya’), wafa’ (selalu menepati janji), dan wiqor (tenang).
Kiai Taufik menyebut akhlak ini sebagai maqam-maqam atau ahwal dalam tradisi kesufian. Maqam-maqam tersebut bukan hanya ujaran teoritis, melainkan temuan intelektual-spiritual yang dalam dan panjang.
“Nah, seorang mursyid yang sudah mencapai maqam-maqam tersebut akan mampu membimbing muridnya untuk sampai pada maqam-maqam tersebut,” jelasnya.
Kiai Taufik mengibaratkan seorang mursyid bagaikan seorang pemandu wisata yang mampu menjelaskan seluk-beluk lahiriah dan seluk-beluk batiniah yang dalam sehingga para murid tidak kesasar. Baginya, mursyid harus lebih dahulu mengetahui dan mengalami apa yang ia katakan.
“Itu sebabnya, dalam tariqat, seorang murid harus ber-baiat (janji setia) untuk siap menjalankan semua perintah mursyidnya dalam mencapai maqam-maqam tersebut,” jabarnya.
Kiai Taufik mengaku, penjelasan ini dapat ditelusuri dalam kitab Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar karya Muhammad Sayyid Haqqi An-Nazili, halaman 192. “Dua tanda tersebut sudah cukup dijadikan standar untuk mengetahui bahwa seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi mursyid atau muqaddam,” ucapnya.
Ia berharap, penjelasan ini dapat bermanfaat bagi umat Islam agar tidak keliru dalam memilih mursyid dalam bertarekat atau praktik beragama. Umat Islam wajib mengetahui rekam jejak seorang mursyid sehingga dapat menuntunnya ke jalan (ajaran) yang benar.
“Paling tidak bisa dijadikan acuan agar kita tidak mudah tertipu dengan tawaran spiritualitas palsu yang dijajakan oleh orang-orang yang tidak jelas rekam jejak intelektual dan spiritualnya. Apa lagi yang hanya mengandalkan pakaian (tampilan lahiriah) dalam upaya glorifikasi diri,” pungkasnya.