Bekam, Pendamping Mujarab Kemoterapi yang Diwasiatkan Saat Isra' Mi'raj
Selasa, 6 Februari 2024 | 12:15 WIB
Penyakit kanker menjadi problem besar bagi kesehatan masyarakat modern. Umat Islam juga tidak luput dari fenomena banyaknya penyakit kanker. Gaya hidup yang mengglobal juga mempengaruhi cara hidup kaum muslimin sehingga resiko terkena kanker meningkat. Kerentanan tersebut dapat diperparah bila kecemasan dan emosi akibat tekanan kehidupan meningkat.
Kemoterapi merupakan salah satu cara terapi kanker dengan obat kimia yang memiliki banyak manfaat. Namun, efek samping dari obat antikanker yang digunakan saat kemoterapi dirasakan cukup berat bagi pasien. Mulai dari mual dan muntah hingga merosotnya kualitas hidup membuat pasien kemoterapi harus mencari solusi di saat kemoterapi tetap menjadi pilihan.
Salah satu upaya untuk mengurangi efek samping obat kemoterapi kanker adalah berbekam. Selain menjadi metode pengobatan dalam thibbun nabawi, bekam ternyata memiliki manfaat positif untuk mengurangi efek samping obat kanker. Dalam hal ini, bekam dapat berlaku sebagai terapi adjunctive atau penunjang/pendamping terapi utama pada kanker.
Pengetahuan ini belum banyak disadari oleh kaum muslimin yang menjalani kemoterapi, padahal di negeri non muslim sudah banyak pasien kanker yang mendapatkan manfaat dari bekam. Di Taiwan, pasien yang mengalami kanker usus besar dan menjalani kemoterapi telah merasakan efek bekam untuk mengurangi efek samping obat (Liu dkk, 2022, Cupping Therapy as an Adjunctive Therapy for Side Effects of Colorectal Cancer Treatment: A Prospective Observational Study, J Chiropr Med, 21(4): halaman 280-287).
Uniknya, bekam ternyata merupakan salah satu oleh-oleh saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjalani Isra' dan Mi’raj di bulan Rajab. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
حَدَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ، أَنَّهُ لَم يَمُرُّ عَلَى مَلَأِ مِنَ المَلاَئِكَةِ إِلاَّ أَمَرُوْهُ: أَنْ مُرْ أُمَّتَكَ بِالِحجَامَةِ
Artinya:“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkisah tentang malam ketika Isra' Mi’raj . Sesungguhnya Beliau tidak melewati sekelompok malaikat kecuali mereka semua menyuruh Beliau untuk memerintahkan umatnya berbekam.” (HR At-Tirmidzi).
Isra' dan Mi’raj terjadi pada bulan Rajab yang iklimnya panas mampu mengubah kondisi di dalam makhluk hidup yang semula berwujud kaku menjadi cair. Oleh karena itu, darah manusia akan terpengaruh oleh iklim bulan Rajab sehingga menjadi lebih encer. Perubahan konstitusi cairan tubuh manusia akibat perubahan musim ini dapat mengubah kondisi kesehatan sehingga rentan untuk sakit (Abdurrachman, Mudah Akupunktur melalui Anatomi, [Yogyakarta, Penerbit Arti Bumi Intaran: 2016], halaman 14).
Dalam perhitungan musim, Bulan Rajab berdekatan dengan musim panas. Pada situasi hawa lingkungan yang memanas, Nabi menganjurkan umatnya untuk berbekam untuk menghindari sakit yang berhubungan dengan pembuluh darah (Suyuthi, Al-Manhaj as-Sawi wa Al-Mahnal ar-Rawi fi at-Thibb an-Nabawi, [Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafiyah: 2002], halaman 226).
Baca Juga
Capek Mengantre Registrasi? Berbekamlah!
Wasiat malaikat untuk berbekam saat bulan Rajab relevan dengan perintah Nabi kepada umatnya untuk berbekam di situasi yang memanas. Meskipun demikian, berbekam tidak harus dilakukan pada bulan Rajab. Bekam dapat dilakukan kapanpun ketika diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Penandaan musim panas pada Bulan Rajab saat isra mi’raj menjadi perwakilan masa ketika suhu lingkungan memanas yang cocok untuk berbekam.
Satu hal yang menarik adalah pemaknaan wasiat bekam oleh para malaikat kepada Nabi Muhammad shallalallahu ‘alaihi wasallam. Wasiat ini merupakan isyarat pengingat karena sesungguhnya bekam terbukti telah ada dalam peradaban manusia sejak 1500 tahun sebelum Masehi berdasarkan sumber arkeologi berupa ukiran di Persia. (Bika dan Dockrat,Medicine of The Prophet [Tibb al-Nabawi] Your Guide to Healthy Living, Ibn Sina Institute of Tibb, [South Africa: 2015], halaman 131).
Dalam versi lainnya, bekam dikenal bahkan sejak 4000 tahun sebelum Masehi di Sumeria. Baik dari versi Persia maupun Sumeria sejarah awal mula bekam bersesuaian dengan pendapat Al-Hafiz Ad-Dzahabi. Dalam kitabnya, ulama ahli thibbun Nabawi itu menyimpulkan bahwa awal mula bekam berasal dari Asfahan (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 56).
Setelah muncul dalam peradaban manusia, bekam dikenal oleh berbagai bangsa. Mulai dari peradaban China kuno, Mesir kuno, hingga Yunani dan Romawi semua mengenal bekam. Tidak terkecuali Bangsa Arab yang terletak di persimpangan peradaban besar dunia juga mengenal bekam sebelum kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berdasarkan sejarah bekam tersebut, bekam dapat dianggap sebagai produk budaya internasional yang dikenal oleh masyarakat global pada saat itu tetapi lalu dilupakan. Wasiat malaikat yan;g mengingatkan pentingnya bekam kepada Nabi Muhammad saat perjalanan Mi’raj merupakan wujud penghargaan terhadap budaya manusia yang bermanfaat. Hal itu menunjukkan besarnya potensi manfaat bekam untuk manusia, terutama bagi umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seiring dengan waktu, saat ini manusia memiliki problem besar terkait dengan kesehatan global yaitu penyakit kanker. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan jumlah kejadian kanker, tetapi peningkatan kasus kanker tidak berkurang. Salah satu jenis kanker yang dikaitkan dengan gaya hidup modern terutama akibat pola makan yang tidak sehat adalah kanker usus besar dan rektum atau kanker colorektal.
Apabila penggunaan obat kimia seperti kemoterapi pada kanker colorektal tidak dapat dihindarkan, maka solusi untuk mengatasi efek sampingnya harus diusahakan. Bekam sangat potensial untuk mengurangi efek samping kemoterapi seperti hasil penelitian yang telah diungkapkan oleh peneliti di Taiwan.
Berdasarkan penelitian itu, kemoterapi dengan obat-obat kimia untuk kanker colorektal sering mengalami efek samping berupa mual-muntah, kelelahan, gangguan tidur, dan rasa nyeri. Setelah menerima bekam 3 kali seminggu selama 10 minggu berturut-turut, keluhan akibat efek samping tersebut berkurang secara bermakna (Liu dkk, 2022, Cupping Therapy as an Adjunctive Therapy for Side Effects of Colorectal Cancer Treatment: A Prospective Observational Study, J Chiropr Med, 21(4): halaman 280-287).
Penelitian tersebut seolah mengingatkan bahwa bekam yang selama ini dianggap sebagai terapi tradisional ternyata memiliki manfaat yang besar. Berdasarkan sejarah, bekam memang sempat diabaikan oleh berbagai peradaban dunia yang mengembangkan ilmu kedokteran. Namun, setelah Islam datang di bawah ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para ulamanya membangkitkan kembali urgensi bekam sebagai metode pengobatan yang mujarab.
Pada masa keemasan peradaban Islam, Ibnu Sina dan Ar-Razi merevitalisasi bekam dengan inovatif. Mereka meletakkan dasar-dasar ilmiah untuk bekam yang lebih detail daripada ilmuwan kedokteran pada masa sebelumnya. Buktinya, ilmuwan Islam tersebut merinci waktu-waktu berbekam dan seleksi pasien berdasarkan kondisi fisik dan mental pasien yang akan dibekam (Bika dan Dockrat, Medicine of The Prophet [Tibb al-Nabawi] Your Guide to Healthy Living, halaman 131).
Kanker memang merupakan penyakit yang tidak ringan penanganannya. Karena itu, dokter yang memberikan terapi kanker juga perlu memperhatikan banyak aspek apabila hendak menerapkan bekam sebagai terapi pendamping. Keterlibatan ahli bekam juga sangat dianjurkan apabila pasien kanker yang menjalani kemoterapi hendak diterapi dengan bekam secara beriringan.
Berdasarkan manfaat yang besar dari bekam, selayaknya para peneliti muslim mengembangkan penerapannya untuk menyertai terapi kanker. Apabila hal ini dilakukan secara masif, umat Islam yang mendapatkan pengobatan kanker akan menerima manfaat yang lebih besar. Efek samping yang selama ini menghantui pasien kemoterapi akan teratasi dan kualitas hidup pasien juga akan meningkat. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Bidang Farmasi