Skizofrenia merupakan gangguan jiwa atau mental yang sejak dulu menjadi perhatian ulama kedokteran Islam. Ar-Razi dan Ibnu Sina pernah meneliti penyakit ini dan menghasilkan landasan penting untuk pengobatan yang masih relevan hingga saat ini. Seakan memprediksi perkembangan zaman, kedua ilmuwan Muslim ini menjelaskan berbagai aspek tentang skizofrenia dalam karya-karyanya.
Apa yang disebut sebagai skizofrenia dalam khazanah literatur Muslim klasik di masa Ar-Razi? Bagaimana penerapan pengobatan skizofrenia pada masa Ibnu Sina? Bagaimana relevansi hasil riset kedua ulama tersebut dengan pengelolaan skizofrenia di masa kini?
Buku-buku Ar-Razi telah memberikan penjelasan untuk berbagai penyakit mental yang menimpa masyarakat selama abad ke-10. Ia juga menguraikan gejala, definisi, diagnosis banding, dan pengobatan untuk berbagai penyakit mental (Ahmed dkk, 2024, Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi [Rhazes] [865-925]: The Founder of the First Psychiatric Ward, Cureus, 16[7]: e64601).
Ar-Razi telah dapat membedakan kondisi seperti skizofrenia, yang disebutnya sebagai junun, dari psikosis manik-depresif. Al-Razi, dalam buku medisnya yang terkenal, Kitab al-Hawi, menulis sebuah bab yang membahas penyakit mental yang dikenal dengan Junun, di mana ia mengamati bahwa keadaan kebingungan (Ikhtilat) sering kali mengikuti penyakit fisik dan demam ketika itu.
Ia juga membedakan antara melankolis dan junun (kegilaan). Ar-Razi mencatat bahwa seseorang yang menderita junun mengalami kegelisahan dan terus-menerus bingung secara mental, dengan kehilangan akal sehat sepenuhnya. Sedangkan pada melankolis, akal sehat hanya salah arah. Ia juga menjelaskan bahwa majnun (orang yang mengalami gila) bukanlah penderita epilepsi, karena penderita epilepsi sehat kecuali selama kejang.
Salah satu gagasan Ar-Razi yang fenomenal adalah mendirikan bangsal khusus untuk pasien skizofrenia di rumah sakit. Pada tahun 907 Masehi, ia bekerja sebagai direktur sebuah rumah sakit besar di Baghdad. Saat menjabat sebagai direktur sebuah rumah sakit ini, Al-Razi memperkenalkan konsep bangsal psikiatri yang didedikasikan untuk perawatan pasien dengan penyakit mental.
Ia menganjurkan agar gangguan mental diakui dan diobati sebagai kondisi medis. Di bangsal tersebut, Al-Razi melakukan observasi klinis menyeluruh terhadap pasien dengan kondisi psikiatri dan menerapkan strategi perawatan yang melibatkan diet, pengobatan, terapi okupasi, aromaterapi, mandi, dan terapi musik. Bangsal ini juga terkenal karena menjadi tempat berkembangnya gagasan lingkungan psikiatri yang menyediakan pakaian bersih, mandi, aktivitas rutin, dan diet sehat bagi pasien.
Sebagai bagian dari perencanaan pasca rawat inap, pasien diberi uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka dan memfasilitasi reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Ini menandai salah satu contoh perawatan pasca psikiatri paling awal yang tercatat dalam sejarah. Hal ini sangat relevan dengan pemberdayaan pasien yang telah menjalani terapi gangguan jiwa untuk bisa mandiri dalam hal ekonomi pada masa kini.
Hal unik lainnya yang digagas Ar-Razi adalah komposisi interdisipliner dari tim perawatan, yang selain dokter, juga mencakup peran yang mirip dengan perawat modern, pekerja sosial, rohaniwan, dan apoteker. Pendekatan holistik ini bertujuan untuk menangani pasien secara menyeluruh, bukan hanya sekedar mengatasi kondisi medisnya. Inilah yang pada masa kini dikenal sebagai penanganan gangguan jiwa secara kolaboratif dan holistik.
Setelah masa Ar-Razi, lahirlah ilmuwan kedokteran lain yang tidak kalah hebat yaitu Ibnu Sina. Ibnu Sina pernah memiliki pengalaman menangani kasus skizofrenia yang menimpa seorang pangeran atau anak raja. Beliau bisa menyembuhkan pangeran yang mengalami gangguan skizofrenia dan depresi berat dengan gejala berupa perilaku manusia yang menyerupai hewan sapi.
Uniknya, salah satu obat yang diperkirakan digunakan oleh Ibnu Sina adalah Camphor, suatu kandungan kimia dari tanaman Kafur yang berasal dari Asia Timur. Ibnu Sina menambahkan komponen Kafur sebagai obat yang dicampur ke dalam makanan Sang Pangeran yang mengalami Skizofrenia sehingga berangsur sembuh (Shahpesandy, 2020, Abu Ali Sina [Avicenna]: Treatment of The Buyid Prince Suffering from Melancholy with Delusional Metamorphosis of Boanthropy, International Journal of Psychiatry Research, 3[1]: halaman 1-4).
Kafur juga dikenal di Nusantara dengan sebutan Kapur Barus, yaitu Kafur yang berasal dari daerah Barus di Sumatera Utara. Kapur barus yang asli adalah semacam getah dan cairan dari pohon dryobalanops aromatica. Tanaman Kafur ini bisa dikonsumsi sebagai obat untuk berbagai penyakit. Cara penggunaannya dengan diminum sebagai ramuan untuk kesehatan. (Baca artikel NU Online: Kapur Barus dan bahan Pengawet Mumi.)
Ibnu Sina telah meletakkan dasar penting pengetahuan tentang obat untuk skizofrenia dengan menggunakan Camphor yang berasal dari Kafur. Di Eropa, penggunaan Camphor sangat terkenal pada abad ke-17 untuk mengatasi gangguan mental seperti melankoli, mania, dan psikosis. Camphor telah digunakan sebagai obat untuk gangguan mental hingga tahun 1940an.
Setelah itu, penelitian tentang obat skizofrenia mengarah pada modernisasi senyawa kimia sehingga menghasilkan obat antipsikotik generasi pertama pada tahun 1950an dengan nama Chlorpromazin. Penyebutan antipsikotik sebagai obat skizofrenia mengacu pada gejala psikosis yang dialami oleh pasien skizofrenia.
Di antara gejala psikosis adalah halusinasi atau persepsi yang tidak nyata. Pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi dapat menganggap dirinya diajak berbicara oleh sosok yang tidak dilihat oleh orang lain atau mendengar suara yang tidak nyata. Selain itu, gejala psikosis lainnya adalah delusi atau waham, kecemasan yang terus menerus hingga perilaku aneh yang tidak terorganisir.
Awalnya antipsikotik digunakan untuk serangan akut psikotik, tetapi lalu digunakan untuk mencegah kekambuhan sehingga obat ini digunakan dalam jangka panjang. Penggunaannya untuk terapi pemeliharaan bisa dalam bentuk diminum melalui mulut (per oral) atau diinjeksikan (Ikawati, 2002, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Bursa Ilmu: Halaman 270).
Karena penggunaan jangka panjang, obat antipsikotik generasi pertama diketahui memiliki efek samping yang tidak ringan. Oleh karena itu, peneliti farmasi kemudian mengembangkan riset untuk menghasilkan obat skizofrenia yang lebih baik. Sejak tahun 1990an, ditemukanlah obat antipsikotik generasi kedua yang lebih ringan efek sampingnya.
Hingga saat ini, penelitian terhadap obat skizofrenia masih terus dilakukan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat telah menyetujui obat kombinasi Xanomeline dan Trospium Chloride untuk digunakan pada skizofrenia. Obat kombinasi ini didesain agar semakin kecil efek sampingnya dan diharapkan menunjukkan efektivitas yang lebih baik daripada obat-obat generasi sebelumnya.
Salah satu kunci keberhasilan dalam pengobatan skizofrenia adalah kepatuhan terhadap terapi. Namun, karena adanya efek samping, maka kepatuhan terapi ini memerlukan upaya ekstra untuk diperjuangkan. Salah satu keunikan obat antipsikotik yang mendukung kepatuhan adalah adanya warna khusus seperti coklat kemerahan.
Warna coklat memang memiliki daya tarik tersendiri bagi pasien skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien skizofrenia lebih menyukai warna coklat daripada hijau (Tao dkk, 2015, Personality trait correlates of color preference in schizophrenia, Translational Neuroscience, 6[1]: halaman 174-178).
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila warna tablet Chlorpromazine dan yang terbaru, yaitu kombinasi xanomeline dan trospium chloride juga memiliki unsur kecoklatan. Tidak hanya itu desain interior bangsal psikiatrik untuk tempat perawatan khusus pasien skizofrenia juga menerapkan warna coklat kemerahan sebagai warna yang dominan. Wallahu a’lam bis shawab.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi