KH Ahmad Asrori, Kiai Asal Menes yang Turut Mensyiarkan NU di Lampung
Senin, 30 Mei 2022 | 08:00 WIB
KH AHMAD ASRORI masih begitu berkesan bagi masyarakat di Tanjungraja, Lampung Utara. Meski hanya dua tahun bermukim di sana, namun nama Asrori masih terpatri, sebagai salah satu tokoh yang turut mensyiarkan ajaran NU di Lampung.
Tanjungraja saat ini adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Lampung Utara. Di tempat itu, berdiri cabang NU pertama di Lampung, tahun 1934.
Pada saat NU masih baru berdiri di Tanjungraja, pernah terjadi debat akbar antara dua kelompok masyarakat yang saling berbeda pemahaman, dua tahun setelah NU cabang Tanjungraja berdiri, yaitu tahun 1936.
Diceritakan oleh tokoh masyarakat setempat, Faruq Khairudin, KH Ahmad Asrori-lah yang mewakili jamiyah NU ketika itu. Selama tiga hari tiga malam, dia duduk berhadap-hadapan dengan tokoh kelompok seberang.
Debat itu disaksikan oleh masyarakat banyak yang saling memberi semangat pada “jago”-nya masing-masing. Debat kadang dilakukan dengan saling bersahutan, tapi kadang mereka saling membuka kitab rujukan masing-masing.
Pada hari ketiga perdebatan, masing-masing pihak dibantu oleh tokoh dari luar daerah. Asrori didampingi oleh Muhammad Zaini dari Jakarta. Pada hari ketujuh perdebatan, datanglah salah seorang pendiri NU, KH Wahab Hasbullah dari Surabaya. Namun saat itu perdebatan baru saja selesai.
KH Ahmad Asrori lahir di Desa Menes, Kecamatan Menes, Pandeglang, Banten, tahun 1914, anak tunggal pasangan H Isra dan Siti Saudah Mariyah. Dia adalah murid KH Mas Abdurrahman bin Jamal, salah seorang pendiri Mathlaul Anwar, sebuah lembaga pendidikan Islam yang berpusat di Menes. Asrori juga pernah mondok di Pesantren Tebuireng pada tahun 1923.
Asrori adalah seorang yang cerdas dan sungguh-sungguh dalam belajar. Hingga kemudian Kiai Abdurrahman memberi kepercayaan padanya untuk bertugas di Lampung dalam memperkuat penyebaran agama Islam. Ketika berangkat ke Menggala, pada tahun 1934, usianya baru 20 tahun.
Di Menggala, nama Ahmad Asrori cepat dikenal. Dia pandai bergaul hingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat, selain ceramahnya yang berani dan memikat. Tokoh masyarakat setempat, Minak Raja Tihang, mengangkatnya menjadi anak. Dia pun masuk lingkaran keluarga Minak Raja Tihang.
Salah seorang Wakil Rais Syuriah PWNU Lampung, KH Agus Syaiful Islam mengungkapkan, banyak mendengar kisah Kiai Asrori, dari ayahnya, yakni KH Agus Muzani. Kiai Syaiful memanggil Asrori dengan sebutan “Abah”. KH Agus Muzani sendiri adalah Rais Syuriah PWNU Lampung pada saat Ketua Tanfidziah H Volta Djeli Panglima (periode 1984-1992) dan KH Khusnan Mustofa Gufron (periode 1992-1997).
Kiai Syaiful menceritakan, Asrori datang ke Lampung adalah untuk menyebarkan ajaran Islam sesuai arahan dari gurunya di Mathlaul Anwar. Target saat itu memang hanyalah penyebaran ajaran Islam, khususnya paham Ahlussunnah wal jamaah di Menggala, yang saat itu sedang marak upaya Kristenisasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Belum bertujuan untuk membangun sekolah Mathlaul Anwar, seperti yang ada di Banten.
Dua tahun di Menggala, Kiai Asrori lalu hijrah ke Tanjungraja. Saat debat akbar berlangsung, posisi Asrori sebenarnya masih tinggal di Menggala. Beliau datang ke Tanjungraja untuk bertemu dengan Kiai Fadlil Amin, inisiator berdirinya NU di Tanjungraja, yang masih terbilang kerabatnya.
Tapi ternyata Kiai Fadlil sedang berada di luar Tanjungraja menjalankan berbagai agenda. Diantaranya syiar Islam di luar Tanjungraja dan menjadi Komandan Pasukan Hizbullah Wilayah Barat, yang areanya meliputi Lampung Utara bagian Barat.
Pada saat itulah warga Tanjungraja mengeluhkan adanya pemahaman lain yang diajarkan di madrasah yang didirikan oleh Fadlil Amin tersebut. Hingga kemudian digagaslah debat terbuka, dengan Asrori sebagai juru bicara dari jamiyah NU. Selesai debat itu, KH Asrori didaulat menjadi pengajar di madrasah. Asrori pun menetap di Tanjungraja.
Saat di Tanjungraja, seorang gadis yang sudah cukup dikenalnya di Menggala, datang kepadanya. Dikisahkan oleh Fadjri, salah seorang anak Fadlil Amin, pernikahan Asrori dan Siti Sarah kemudian digelar di Tanjungraja, dengan pesta selama 7 hari 7 malam.
Namun pasangan itu tak lama menetap di Tanjungraja. Hanya sekitar dua tahun. Pada 1938, Asrori mengajak istrinya ke Menes, Banten. Pernikahan Asrori dan Siti Sarah melahirkan dua orang anak, yaitu Ali Subro Maliki dan Nong Latifah.
Dalam proses riset dan penulisan buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung, Nong Latifah mengatakan, saat di Menes, Asrori dan Sarah masih terus mensyiarkan ajaran NU. Siti Sarah melanjutkan dakwahnya terutama di kalangan ibu-ibu.
Saat Muktamar ke-13 NU di Menes tahun 1938, misalnya, Siti Sarah tampil berorasi di depan umum, bergantian dengan tokoh ibu-ibu NU lainnya, yang kelak dari orasi itu merupakan cikal bakal berdirinya Muslimat NU.
Sementara itu sejumlah warga Tanjungraja yang ditemui penulis, mengaku sangat terkesan dengan kehadiran Kiai Ahmad Asrori. Padahal, kisah kedatangan beliau sudah berlalu begitu lama. Rupanya keteladanan sang kiai begitu membekas dan terus diceritakan secara turun temurun.
“Beliau adalah tokoh agama yang jasanya selalu dikenang. Membicarakan berdirinya NU di Tanjungraja, tak bisa lepas dari peran Kiai Asrori,” kata Faruq Khairudin.
Faruq adalah putra Abu Katsir (1904-1968), yang usai debat terbuka tersebut diangkat menjadi penghulu di Tanjungraja.
Ketika Asrori kembali ke Menes, hubungan antara masyarakat Tanjungraja dengan Asrori tak terputus. Beberapa warga Tanjungraja melanjutkan pendidikan agama di Pesantren Ahlussunah wal Jama’ah yang dibangunnya di Menes.
Salah seorang putri Abu Katsir, Rohaya, dikirim untuk nyantri di pesantren tersebut selama tiga tahun (1963-1966). Sebelumnya, Rohaya sudah pernah mondok di daerah Sri Bandung, Lampung Utara, selama 6 tahun, bersama Faruq Chairudin.
“Hubungan keluarga kami sangat dekat, sudah seperti kakak adik dengan ayah saya. Sehingga silaturahim harus tetap kami jaga dengan mengirim kakak perempuan saya mondok di sana,” kata Faruq Khairudin.
Di mata Rohaya, keluarga Asrori adalah keluarga yang harmonis. Kedekatan orang tuanya dengan Asrori, membuat Rohaya sudah dianggap sebagai keluarga dekat. Dia sering menyaksikan kadangkala Kiai Asrori tampak begitu lembut namun tegas dengan kedua anaknya.
Asrori memiliki sejumlah karya tulis (buku) yang banyak dibagikan saat berdakwah, ataupun menjadi bahan pegangan saat mengajar di madrasah. Salah satu bukunya adalah yang berjudul “Ahlussunnah wal Jamaah”.
Buku yang ditulis dengan hurup Arab itu masih dipegang oleh beberapa orang tua di Tanjungraja, sebagai bukti pernah hadirnya ulama tersebut dalam menyebarkan agama Islam di kecamatan itu.
(Ila Fadilasari, Penulis Buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung)
Artikel ini sudah pernah diterbitkan pada tanggal 26 November 2019 dengan judul KH Ahmad Asrorie, Dari Menes Menyebarkan Aswaja, dengan sejumlah penambahan.