Jaga Lingkungan Gambut, Masyarakat Dilatih Buka Lahan Tanpa Bakar
Ahad, 29 April 2018 | 05:30 WIB
Masyarakat Sumatera Selatan biasa melakukan sonor, pembakaran lahan untuk membukanya. Tetapi, mereka punya batasan tertentu yang diatur oleh adat. Jika mereka melanggar, pelakunya akan menerima sanksi adat atau sanksi dari desanya.
Hal ini disampaikan oleh Dino, ketua Desa Peduli Gambut Sumatera Selatan saat ditemui NU Online sebelum pembukaan Jambore Masyarakat Gambut, Sabtu (28/4), di Kiram Park, Banjar, Kalimantan Selatan.
Namun, semenjak dua tahun terakhir, pembukaan lahan dengan membakar itu kian menipis. Hal ini berkat sosialisasi Badan Restorasi Gambut (BRG). Dino mengatakan bahwa masyarakat diberi pelatihan pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB).
“Masyarakat dikasih peningkatan kapasitas pembukaan lahan tanpa membakar,” ujarnya.
Menurut Dino, lahan gambut di Sumatera Selatan yang terbakar mencapai 800 ribu hektar dari total keseluruhan 1,2 juta hektar.
“Hampir 70 persen terbakar,” katanya.
Tetapi, kebakaran lahan ini paling banyak terjadi di lahan konsesi, yakni lahan yang telah pemerintah izinkan kepada individu, perusahaan, atau entitas tertentu. Masyarakat sempat berunjuk rasa untuk memberi sanksi tegas kepada perusahaan yang melakukan pembakaran. Menurutnya, ada 500 orang lebih terkena ISPA dan 10 orang di antaranya meninggal dunia karena asap pembakaran tersebut.
Semenjak mendapat pendampingan itu juga, masyarakat desa gambut mulai mengembangkan perekonomiannya. Berbekal keterampilan membuat kerajinan, kini mereka sudah mulai membuatnya lebih kreatif dari segi pengemasannya dan tampilan kerajinannya dengan warna-warni dan ornamen tertentu.
Para pendamping selain bertugas membimbing masyarakat, juga mempromosikan barang-barang hasil karya masyarakat binaannya ke kota-kota. Selain itu, hasil karya mereka juga dipasarkan melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Sementara itu, Kepala Desa Gohong Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah,Yanto L Adam mengatakan bahwa desanya juga mendapat pendampingan. Masyarakat di sana menanam sengon. Kayunya mereka olah untuk dijadikan bahan kertas dan lainnya. Selain itu, mereka juga menanam karet.
Mereka merasakan perbedaan suasana tahun 2015 saat dilanda kebakaran hebat dengan saat ini. Sekarang, hampir tidak ada lagi pembakaran hutan.
“Masyarakat sadar sendiri bahwa dari kegiatan buka lahan sistem bakar itu sangat merugikan,” ujarnya saat ditemui NU Online sebelum pembukaan Jambore Masyarakat Gambut.
Kesuksesannya mengembangkan desa tersebut mengantarkannya ke Jerman dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim. Ia bersama Kepala Desa Sungai Bungur, Kabupaten Muarojambi, Jambi, Tamin berangkat mewakili Indonesia.
“Jadi, kami berdua tuh di sana,” ujarnya.
Di sana, mereka menyampaikan restorasi gambut yang telah dilakukannya. Yanto mendapatkan motivasi tersendiri bahwa lingkungan mendapat perhatian besar oleh masyarakat dunia, Jerman khususnya.
“Kemajuan suatu daerah tidak lepas dari lingkungan itu sendiri,” pungkasnya. (Syakir NF/Muhammad Faizin)