Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama sejak dulu menetapkan bahwa awal bulan hijriah, termasuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal. Merujuk Almaghfurlah KH A. Ghazalie Masroeri, bukan berarti NU tidak melakukan hisab. NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir. Karena menurut KH Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif.
"Penentuan awal bulan Hijriyyah yang dipedomani Nahdlatul Ulama (termasuk di dalamnya penentuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri/Idul Adha) adalah berdasarkan rukyah hilal sebagai ibadah yang bersifat fardhu kifayah. Merujuk keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Muktamar NU sejak 1954 hingga 2021 Miladiyah," demikian dikutip dari Seputar Penentuan Idul Fitri 1444 H dalam Pandangan Nahdlatul Ulama yang dikeluarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), pada Ahad (16/4/2023).
Ada empat ketentuan yang NU terapkan dalam menggunakan metode rukyatul hilal. Sebagai berikut.
1. Jika hilal di bawah ufuk
Jika hilal masih di bawah ufuk atau minus di bawah 0 derajat, maka rukyah tidak lagi berlaku fardu kifayah. Hal ini mengingat hilal tidak mungkin dapat dilihat karena posisinya berada di bawah ufuk. Dengan begitu, secara otomatis berlaku istikmal, yaitu bulan sebelumnya digenapkan menjadi 30 hari.
"Apabila hilal berada di bawah ufuk berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, maka rukyah hilal tidak bersifat fardhu kifayah dan keputusannya adalah istikmal," tulis poin pertama (a) dalam Seputar Penentuan
Idul Fitri 1444 H.
2. Jika hilal teramati
Jika hilal dapat teramati dengan posisinya yang sudah mencapai kriteria imkan rukyah (visibilitas hilal, kemungkinan hilal bisa teramati) yang dipedomani oleh NU, maka kesaksian perukyat tersebut dapat diterima. Dengan begitu, bulan berlaku isbat. Artinya, bulan hanya berumur 29 hari dan esoknya sudah mulai bulan baru.
"Apabila hilal terukyah bil fi’li dan posisinya telah melebihi kriteria imkan rukyah Nahdlatul Ulama berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, maka kesaksian diterima dan berlaku isbat," lanjut poin kedua (b).
3. Jika hilal melebihi kriteria imkan rukyah
Jika hilal telah melebihi kriteria imkan rukyah yang dipedomani NU, tetapi hilal tidak teramati di seluruh titik di Indonesia, maka berlaku istikmal.
"Serupa dengan butir (b) di atas namun apabila hilal tidak terukyah bil fi’li maka berlaku istikmal," lanjut poin ketiga (c).
4. Jika hilal sudah tinggi
Jika hilal sudah sangat tinggi, tetapi tidak teramati, secara hukum mestinya istikmal. Namun, jika berlaku istikmal akan berpotensi mengakibatkan umur bulan berikutnya hanya 28 hari. Karenanya, jika terjadi kondisi demikian, maka berlaku peniadaan istikmal, meskipun hilal tidak terlihat.
"Apabila posisi hilal telah demikian tinggi berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, tetapi tidak terukyah, sedangkan bulan Hijriah berikutnya berpotensi terpotong menjadi tinggal 28 hari apabila terjadi istikmal, maka berlaku nafyul ikmal (diabaikannya istikmal)," lanjut poin keempat (d).
Adapun kriteria imkan rukyah NU yang dipedomani pada saat ini adalah 3 derajat untuk tinggi hilal mar’ie dan 6,4 derajat untuk elongasi hilal hakiki yang berlaku wilayatul hukmi (wilayah hukum) Indonesia.
"Kriteria imkan rukyah Nahdlatul Ulama yang dipedomani Nahdlatul Ulama pada saat ini: tinggi hilal mar’ie minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqy minimal 6,4 derajat yang berlaku wilayatul hukmi Indonesia," demikian bunyi penjelasan itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad