Nasional

50 Perupa Ikuti Pameran “Matja” NU

Jumat, 24 Juli 2015 | 14:14 WIB

Yogyakarta, NU Online
Menjelang Muktamar ke-33 NU, panitia akan menggelar pameran seni rupa bertema Matja: Seni Wali-wali Nusantara. Pameran yang digelar di Jogja National Museum, 27 Juli-30 Juli 2015 tersebut diikuti sekitar 50 perupa.
<>
Panitia pameran, Hasan Basri, mengatakan pameran seni rupa yang pertama kali digelar diikuti perupa Nasirun, D. Zawawi Imron, KH Mustofa Bisri, Ahmad Tohari, Lucia Hartini, Ivan Sagita, Agus Suwage, Stefan Buana, Arahmaiani, S Teddy D, Bunga Jeruk, Jeihan, Tisna Sanjaya, Entang Wiharso, Heri Dono, dan lain-lain.

Menurut Hasan, di antara tradisi Islam Nusantara adalah menempatkan kesenian pada posisi yang mulia. Kesenian menjadi lambang kematangan rohani manusia. Seni yang bersifat luhur, baik, dan ada rasa keadilannya.

Dalam konteks ini, kata Hasan, NU yang didirikan para ulama dibawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari, tidak sekadar menempatkan kesenian secara fungsional, sebagai alat dakwah. Lebih dari itu, kesenian merupakan tanda dari pencapaian keber-islam-an seseorang atau masyarakat.

“Kesenian adalah perlambang kematangan ruhani umat manusia. Semakin rendah selera seni (art taste) sebuah masyarakat menunjukkan rendahnya tingkat spiritualitas masyarakat tersebut,” katanya pada jumpa pers Jogja National Museum, Yogyakarta, Jumat, (24/7).  

Pandangan semacam ini, lanjut dia, khas pandangan, pedoman, dan keyakinan (i’tiqad) Ahlusunnah Waljama’ah  (ASWAJA) mengenai kesenian.

“Imam Ghazali misalnya dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddien, menyebut orang Islam yang tidak bisa menikmati kesenian sebagai kelompok “yang kurang akal” (naaqishul ‘aql). Tatah atau alas dari pencerahan ruhani adalah kesenian, dalam istilah lain hanya kesenian yang mampu menampung bahasa ruhani sehingga sampai pada tataran kemanusiaan,” lanjutnya.

Kurator pameran, A. Anzieb, mengatakan hal itu adalah sebuah upaya kecil untuk menghadirkan kehangatan hubungan antara Islam dan seni. Bahwa, Islam Nusantara yang bersendikan pada kedaulatan, berusaha membuka segala kemungkinan untuk mewujudkan perubahan sosial tanpa memutuskan pertautan dengan masa lalu. Tidak alergi dengan perubahan, tetapi tidak percaya pada impor gagasan dan tindakan dalam mengarungi semua tantangan kehidupan.

Menurut dia, pameran seni rupa “Matja” Seni Wali-wali Nusantara” dihadirkan sebagai ekspresi sekaligus impresi berkesenian yang  terkait  dengan tradisi berkesenian Islam di Nusantara yang menempatkan kesenian sebagai asas kemasyarakatan, di mana seni menyatu dalam ritme hidup keseharian masyarakat Indonesia.

“Dalam Pameran senirupa bertema “Matja” Seni Wali-wali Nusantara” ini, selain menghadirkan hubungan yang hangat antara Islam dan seni, juga merupakan sebuah refleksi kedewasaan masyarakat Islam Nusantara mengaktualisasi diri melalui seni dan budaya yang diilhami dari gerakan asimilasi warisan Wali Songo,” pungkasnya. (Red: Abdullah Alawi)


Terkait