Peserta kegiatan Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama yang dilaksanakan di Pusdiklat Kemenag RI Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Jakarta, NU Online
Dalam memahami sebuah informasi, banyak orang yang mengalami kondisi bias kognitif yakni kesalahan di alam bawah sadarnya dalam berfikir memproses, dan menafsirkan informasi. Terlebih di era saat ini, di mana banjir informasi tak terbendung lagi di era media sosial.
Menurut Widhya Iswara Pusdiklat Kemenag RI H Abdul Jalil bias Kognitif tidak saja bisa dialami oleh orang-orang yang secara pendidikan dan intelektualnya rendah. Namun mereka yang berpendidikan tinggi pun bisa terpapar bias kognitif.
“Maka kita sering melihat ada orang yang intelektualnya tinggi namun berpandangan negatif dalam hal keragaman dan kebhinekaan,” katanya di depan para tokoh agama dalam Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama di Pusdiklat Kemenag RI Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Bias kognitif ini bisa tumbuh subur pada otak seseorang di antaranya akibat 6 sifat ego yang dimiliki manusia. Pertama, adalah Egocentric Memory yakni kecenderungan melupakan bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapatnya.
Kedua, Egocentric Myopia yakni kecenderungan berpikir secara absolutis dalam sudut pandang yang sempit. Ketiga, Egocentric Righteousness yakni kecenderungan merasa lebih baik atau superior hingga selalu merasa lebih unggul dari yang lain.
Kemudian keempat adalah Egocentric Hypocrisy yakni kecenderungan tidak menghiraukan adanya inkonsistensi antara kata dan perbuatan. Kelima, Egocentric Oversimplification yakni kecenderungan mengabaikan kompleksitas masalah dan lebih memilih pandangan yang simplistik atau menyederhanakan masalah.
"Selanjutnya Egocentic Blindness yakni kecenderungan untuk tidak mau tahu fakta dan bukti yang tidak mendukung pendapat kita atau berlawanan dengan pendapat kita," jelasnya.
Agar terhindar dari ego-ego yang memunculkan bias kognitif ini, ia mengajak kepada para tokoh agama untuk melakukan tiga hal. "Buka pikiran, buka hati, dan buka keinginan mencari yang terbaik," ungkapnya.
Sikap keterbukaan ini tidak dengan konsekuensi yang mudah. Banyak yang harus diterima ketika memiliki sikap terbuka di antaranya dihakimi orang lain, mendapatkan sikap sinis, dan teror atau perasaan takut.
Bias kognitif ini terjadi karena menjadikan asumsi sebagai fakta atau realita. Kondisi ini perlu diwaspadai oleh setiap individu karena ketika terjadi kesalahan berpikir maka akan menimbulkan kesalahan bertindak, memproses dan menafsirkan informasi, dan ini dapat mempengaruhi rasionalitas dan keakuratan dalam menentukan keputusan dan penilaian.
Teori Ladder of Inference
Ia pun mengungkapkan sebuah teori yang penting untuk digunakan dalam menyaring informasi. Ada 7 tahapan yang harus dilakukan agar informasi yang didapat benar-benar valid untuk digunakan. Teori tersebut dinamakan Ladder of Inference yakni Pertama, memahami data-data yang tersedia sebagai modal awal dalam mengambil keputusan. Kedua, memilih data-data yang tersedia dengan cermat dengan menghubungkan pada pengalaman dan keyakinan yang dimiliki.
Ketiga, lanjutnya adalah melakukan interpretasi atau memahami arti dari data dan kondisi fakta yang terjadi dengan cara meneliti apa yang dilihat atau didengar. Keempat, mengasumsikan data yang diinterpretasikan berdasarkan asumsi pribadi. Kelima, menarik kesimpulan dari asumsi yang kita buat.
Keenam yakni keyakinan yang dikembangkan dari kesimpulan yang kita buat. Dan ketujuh yakni tindakan yang kita lakukan berdasarkan apa yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Aiz Luthfi