Alissa Wahid Nilai Peran Ormas Efektif Cegah Perkawinan Anak
Rabu, 28 Agustus 2024 | 18:30 WIB
Ketua PBNU, Hj Alissa Wahid saat menyampaikan materi dalam forum Pojok Kramat yang digelar Lakpesdam PBNU, Rabu (28/8/2024) di gedung PBNU Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid, menyampaikan bahwa tradisi merupakan faktor yang berperan dalam fenomena perkawinan anak. Hal tersebut merupakan tantangan organisasi masyarakat (Ormas) karena pendekatan nilai dan sosial budaya, menurutnya, lebih efektif dibandingkan pendekatan secara hukum.
Alissa Wahid menyampaikan hal itu pada acara Pojok Kramat yang digelar Lakpesdam PBNU bertajuk “Perkawinan Anak Perspektif Islam" di gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Rabu (28/8/2024) yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi NU Online, Ivan Aulia Ahsan.
Namun, menurut Alissa, mengubah tradisi perkawinan anak tidak mudah karena terkait dengan nilai dan kultur masyarakat tertentu dan ini merupakan tantangan ormas keagamaan. "Karena ormas keagamaan memegang kunci khusus yang seharusnya lebih efektif dibanding pendekatan hukum karena terkait nilai-nilai dan sosial budaya,” tegas dia.
PBNU berupaya untuk menekan perkawinan anak dengan menggerakan keluarga maslahat. Menggerakan program keluarga maslahat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di tengah keluarga dan masyarakat. Ia mencontohkan Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) menggelar halaqoh-halqoh keluarga maslahat.
“PBNU ingin mewujudkan kemaslahatan keluarga tidak hanya diukur dari ekonomi tetapi keluarga tersebut memberikan maslahat bagi seluruh anggota keluarga dan masyarakat sekitar,” tutur Alissa Wahid yang juga Psikolog Keluarga.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU), H Alhafiz Kurniawan menjelaskan, kerja keras ormas Islam menurutnya sangat membantu untuk pilihan pandangan perkawinan anak.
“Kerja keras ormas Islam secara umum terutama di kampung-kampung sangat membantu untuk memberikan pilihan pandangan perkawinan anak secara holistik dan pemahaman keluarga pada maslahat,” terang Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online itu.
Alhafiz menjelaskan perkawinan dalam Mazhab Syafi’i dianjurkan bagi individu yang yang memiliki kebutuhan biologis dan memiliki kemampuan finansial. Tetapi untuk individu yang memiliki kebutuhan biologis, namun tidak memiliki kemampuan finansial, maka tidak dianjurkan. Dalam hal ini, anak dinilai belum memiliki kemampuan finansial.
“Dalam Mazhab Syafi'i, tidak ada hukum tunggal terkait perkawinan jadi bagi individu yang berkebutuhan biologis dan punya kemampuan finansial dianjurkan. Namun jika memiliki kepentingan biologis tapi tidak dibarengi kemampuan finansial maka tidak dianjurkan,” pungkasnya.