Jakarta, NU Online
Mantan pengikut organisasi teroris Islamic State Irak and Suriah (ISIS) Febri Ramdani meminta anak muda di Indonesia untuk terus mewaspadai gerakan teroris saat pandemi Covid-19. Menurutnya, saat pandemi inilah justru menjadi waktu yang tepat bagi kelompok radikal untuk menyebarkan paham atau ajarannya di internet.
Penulis Buku 300 Hari di Bumi Syam ini menambahkan, sampai saat ini tidak ada penyaring artikel atau tulisan berisi ajaran radikal di internet. Semua orang dapat mengaksesnya, apalagi dalam situasi Corona, kalangan anak muda banyak berdiam diri di rumah. Potensi bermain internet oleh anak-anak muda tersebut sangat besar dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
“Di gadget tidak ada filter. Bagi mereka yang belum kuat iman dengan kondisi seperti ini menemukan solusinya ya di media online,” ucap Febri Ramdani saat menjadi narasumber Milenial Bicara Terorisme yang digelar secara virtual, Ahad (6/12).
Ia mengungkapkan, kelompok teroris akan memanfaatkan masa-masa pandemi untuk menyebarkan ajarannya. Bahkan, sangat mungkin lebih gencar dari hari-hari normal. Intinya, mereka berharap ajaran yang mereka pahami dapat diakses oleh masyarakat sehingga dapat mempercepat melaksanakan misinya.
“Kelompok ekstrim tersebut di masa-masa seperti sekarang ini semakin gencar dan semakin giat menyebarkan paham mereka,” tuturnya.
Febri juga mengungkapkan motivasi anak muda dapat terdorong bergabung dengan organisasi radikal. Menurutnya, yang paling berpengaruh terhadap kondisi ini adalah keluarga. Jika keluarga banyak yang pro terhadap organisasi radikal, maka dimungkinkan anak-anak muda yang belum banyak mengerti terkait ideologi Islam akan ikut.
“Saya pribadi motivasi terbesar (ikut ISIS) bukan karena ideologi tapi motivasi terbesar karena faktor keluarga,” ujar dia.
Dia menceritakan bagaimana dia dulu (2015) berdebat panjang dengan kedua orang tuanya terkait paham radikal sebab karena dorongan paham itulah kedua orang tuanya berencana pergi ke Suriah. Benar saja, tahun 2016 keluarga yang dia cintainya itu pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Setelah setahun lamanya tinggal di Indonesia sebatang kara, Febri memutuskan untuk menyusul keluarganya di Suriah. Dia pun berhasil pergi ke sana atas bantuan kelompok ISIS di Indonesia. Setelah dia banyak bergabung dengan ISIS itulah, Febri dapat menyimpulkan beberapa hal.
Pertama bahwa seseorang cepat terdorong dan terpengaruh paham radikal seperti paham ISIS disebabkan oleh lingkungan keluarga. Kedua, minimnya pengetahuan agama dan ketiga karena tidak puas terhadap kinerja pemerintah.
“Pemerintah tidak serius dalam menangani berbagai masalah di negeri ini,” pungkas Febri menguraikan pendapatnya.
Sebelumnya, peneliti terorisme dari Indonesia Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara juga mengomentari fenomena orang bergabung dengan organisasi radikal. Dia menegaskan, terdapat dua faktor utama yang mendorong radikalisasi.
Pertama adalah minimnya pengetahuan soal agama. Menurut Robi Sugara, banyak pelaku teror yang mapan secara ekonomi dan pendidikan, tapi minim di sisi pengetahuan keagamaan. Ia mencontohkan hal tersebut terjadi di kalangan orang-orang beragama yang modernis dan tidak mempelajari agamanya tidak secara komprehensif.
"Itu kan mereka belajar Islamnya instan simpel di permukaan. Islam itu pakai cadar, Islam itu pakai jilbab, Islam itu berjenggot. Kemudian narasi jeleknya Islam itu ditindas di internasional, Islam itu dipojokkan, dan sebagainya. Nah kelompok-kelompok yang rentan itu seperti itu," kata dia.
Faktor kedua adalah keinginan untuk membuktikan dalil-dalil keagamaan. Robi mengambil sosok Ahbar, salah seorang dari 14 WNI yang dicokok Densus 88 saat baru mendarat di terminal 2D bandara Soekarno-Hatta dari Turki, Februari 2017 lalu.
Menurut Robi, dia ingin membuktikan khilafah itu benar adanya, hadis-hadis akhir zaman itu benar dan adanya di Suriah.
“Dia bahasa Arabnya bagus, pemahaman keagamaannya dari sisi literatur-literaturnya bagus, kemudian dia ingin membuktikan," tuturnya.
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Syamsul Arifin