Jakarta, NU Online
Konsep Islam Nusantara kerap disalahpahami oleh sebagian orang sampai saat ini. Parahnya kelompok ini memilih untuk percaya pada definisi mereka sendiri tanpa mau mendengar penjelasan Nahdlatul Ulama sebagai pencetus istilah tersebut.
Budayawan Ngatawi al-Zastrouw menjelaskan bahwa Islam Nusantara hanya 'pelabelan atas praktik keislaman yang telah dilakukan oleh masyarakat Nusantara sejak zaman Walisongo'.
"Gak ada yang rusak dari dzat, hakikat, sifat dari Islam hanya gara-gara diberi nama dengan Nusantara itu," katanya saat mengisi Tadarus Islam Nusantara di Aula Lantai 4 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta Pusat, Jumat (14/12).
Ia memisalkan konsep Islam Nusantara itu dengan air. Benda cair itu hanya bisa dimanfaatkan dengan menggunakan alat tertentu. "Sampean mau minum, apa langsung nyebur ke kolam gitu? Kan gak mungkin," ujar dosen pascasarjana Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta itu.
Maka, agar air itu bisa diminum harus, lanjutnya, dialihkan lebih dulu ke botol atau ke gelas. Jika hendak meminum dengan suhu yang panas, air itu harus dipindahkan dulu ke panci supaya bisa direbus. Pemindahan air itu bukan bentuk memecah belah air.
"Ini kan dalam rangka supaya bisa dipahami, dimanfaatkan, diamalkan dengan mudah. Maka jadinya air panci. Gak ada yang berubah dari dzat, hakikat, sifatnya air ini hanya karena diwadahi gelas, kendil, diwadahi macam-macam," terang Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU 2004-2010 itu.
Gelas, botol, panci, kendil, dan hal lain yang serupa itu hanyalah sarana agar air itu dapat dimanfaatkan dengan mudah. Pun dengan Islam Nusantara. Hal itu untuk memudahkan pengajaran, pemahaman, dan pengamalan ajarannya.
Zastrouw mencontohkan perintah zakat fitrah. Di Indonesia zakat fitrah tidak menggunakan gandum atau kurma, melainkan beras. "Yang aneh orang ngafir-ngafirkan Islam Nusantara tapi zakat fitrah pakai beras," tegasnya.
Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama H Ulil Abshar Hadrawi. (Syakir NF/Ahmad Rozali)