Anggota Tersandung Korupsi, BPK Perlu Pembenahan Sistematis
Senin, 20 November 2023 | 22:00 WIB
Jakarta, NU Online
Beberapa waktu yang lalu, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi ditangkap karena terjerat korupsi. Hal ini menambah daftar panjang anggota BPK yang terjerat korupsi. Terbaru, ruang kerja Anggota BPK Pius Lustrilanang disegel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini KPK sedang menunggu kedatangannya dari luar negeri untuk dilakukan pemeriksaan.
Pakar Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Roziqin menyebut maraknya kasus korupsi di BPK menandakan perlu adanya pembenahan secara sistematis pada lembaga tersebut. Ia menyampaikan beberapa usulan perubahan.
Baca Juga
Jihad NU Melawan Korupsi
“Pertama, BPK perlu menerapkan nilai-nilai integritas, sebagaimana dicanangkan oleh BPK sendiri sebagai nilai utama untuk pimpinan dan pegawai BPK. Dalam berbagai kesempatan, mulai dari diklat hingga arahan pimpinan, seringkali didengungkan agar pegawai menjunjung tinggi nilai independen, integritas, dan profesionalisme,” ujarnya pada NU Online, Senin (20/11/2023).
Ia mengungkapkan bahwa BPK harus menjadi tulang punggung dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu, integritas BPK dalam menjalankan tugas sangat penting.
Ia juga menyarankan agar standar etika ditegakkan dengan ketat, termasuk dalam hal tidak menemui pihak terkait pemeriksaan di luar kantor BPK atau area pemeriksaan. Kemudian tidak menerima segala macam bentuk gratifikasi dari penyelenggara negara maupun swasta yang bisa mempengaruhi independensi dan integritas.
Lebih lanjut, Roziqin menyampaikan bahwa untuk menegakkan integritas, pimpinan dan pegawai BPK perlu independen. Karenanya, pimpinan BPK perlu diisi para profesional dan pakar di bidang terkait pemeriksaan BPK, dan menghindari calon yang berasal dari partai politik.
Selain itu, sebagai lembaga yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, maka BPK perlu menggunakan kacamata kuda untuk menegakkan kebenaran.
Pimpinan yang berasal dari partai politik, menurutnya, berpotensi memiliki konflik kepentingan. Pasalnya, mereka memiliki banyak relasi dengan para pejabat sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi objektivitas pemeriksaan BPK. Apalagi pimpinan BPK dipilih oleh DPR sehingga dikhawatirkan calon yang berasal dari partai politik tidak diseleksi dengan baik oleh para politisi di DPR.
"KPK perlu mengawal pemilihan BPK agar tidak terjadi suap menyuap dalam proses pemilihan KPK,” imbuhnya.
Kedua, perlu perubahan Undang-Undang agar pemilihan pimpinan BPK menggunakan Panita Seleksi (Pansel) sebagaimana pemilihan KPK. Ia mengungkapkan bahwa melalui Pansel, setidaknya ada saringan yang lebih ketat terhadap calon pimpinan BPK.
Pansel harus memastikan bahwa calon pimpinan BPK memiliki integritas yang mumpuni, dan rekam jejak yang baik dalam pemberantasan korupsi. BPK, menurutnya, ibarat sapu yang akan menyapu semua perilaku kotor korupsi. Maka semua pimpinan BPK harus benar-benar bersih.
"Pimpinan yang bersih akan berakibat pada pegawai yang bersih. Hal ini karena dalam birokrasi berlaku prinsip bawahan harus mengikuti perintah atasan,” ujarnya.
Berkaitan dengan rekam jejak, Pansel bisa meminta masukan dari segenap masyarakat, termasuk dari KPK. Pansel juga perlu mendapat masukan dari entitas yang diperiksa BPK, bilamana ada pimpinan BPK yang akan mencalonkan diri untuk periode kedua.
Kemudian, ia juga menyampaikan perlunya perubahan Undang-Undang untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan BPK. Masa jabatan yang hanya lima tahun, akan menyebabkan pimpinan BPK tidak fokus dalam bekerja. Menjelang berakhirnya periode lima tahun pertama, dikhawatirkan mereka akan mendekati para anggota DPR agar terpilih kembali. Pendekatan demikian dikhawatirkan mengganggu independensi.
"Kita bisa meniru perubahan UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim MK menjadi usia 70 tahun, agar mereka bekerja secara independen dan profesional dan tidak terpikir untuk pemilihan periode kedua,” pungkas peraih gelar doktor hukum dari Zhejiang University itu.