Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris PP LP Maarif NU Mahrus mengajukan disertasinya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia (UI). Ia berhasil mempertahankan disertasinya di depan lima penguji dengan predikat summa cumlaude. Dalam karya tulis doktoralnya, Mahrus mengangkat karakteristik taerkat Syattariyah dan Muhammadiyah di Keraton Keprabonan Cirebon.
Mahrus meneliti enam naskah yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah di Cirebon khususnya di lingkungan keraton. Menurutnya, silsilah tarekat Syattariyyahdi Cirebon memiliki jalur yang berbeda dari tarekat Syattariyah lainnya di Indonesia.
Dari salah satu naskah yang diteliti, ia tidak menemukan nama Syekh Abdurrauf Singkel dan Abdul Muhyi Pamijahan. Tarekat Syattariyah di Cirebon tersambung melalui Abdullah bin Abdul Qahhar yang mengajarkan tarekat tersebut kepada H Muhammad bin Mu’tashim pada abad 18-19 M.
Syattariyah di Cirebon juga berjejaring dengan Syattariyah lainnya di Indonesia terutama melalui Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar dan Ahmad Qusyasyi atau Syekh Alam Rabbani.
Berdasarkan naskah yang ditelitinya, Mahrus tidak hanya melihat silsilah Syattariyah, tetapi juga ilustrasi atau diagram iwak telu sirah sanunggal (tiga ikan satu kepala) yang dianggap sebagai suluk Syattariyah di Cirebon.
“Suluk inilah yang barangkali bisa dikaitkan dengan tradisi walimahan yang selalu menyertakan ikan dalam ‘berkat’-nya”. begitu juga dengan ikan yang digunakan dalam bendera Kacirebonan dan di beberapa tempat lain seperti di pintu gerabng Kepatihan , dan beberapa tembok sekitar keratin,” kata Mahrus.
Namun, ilustrasi tiga ikan satu kepala ini tidak hanya hadir di Cirebon. Simbol tiga ikan satu kepala (trimina) ini juga ditemukan di dalam naskah milik KH M Bakrin di Desa Drajat, Paciran, Lamongan, sebuah naskah yang ditulis sekitar abad ke-17.
Mahrus juga menemukan aksara pegon yang digunakan dalam naskah-naskah yang ia teliti. Ia menyimpulkan tradisi pegon ini sebagai pengaruh dari tradisi pesantren khususnya dialek lokal Cirebon. Keberadaan bahasa Arab, aksara Arab, dan aksara pegon di keraton Cirebon tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan pondok pesantren yang ada sejak abad ke-18-19 terutama Pesantren Buntet, Babakan Ciwaringin, dan Balerante.
Mahrus mengajukan disertasinya di FIB UI dengan Program Studi Susatra pada Kamis (14/1) siang. Ia adalah pengajar tetap di Jurusan Filsafat Agama di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Ia pernah mondok di Pesantren As-Salafiyah Kauman, Pemalang, dan Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. (Alhafiz K)