Nasional

Apa Penyebab Bangkitnya Intoleransi di Berbagai Negara?

Sabtu, 28 Januari 2017 | 09:10 WIB

Bogor, NU Online
Saat ini situasi global tengah bergerak ke arah kanan atau menjangkitnya populisme. Orang-orang yang mempunyai pandangan rasial, intoleran, sekarang berkuasa di sejumlah negara.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengambangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad, mencontohkan situasi itu dengan menyebut misalnya di Belanda, partai yang sangat rasis saat ini polpuler.

“Tokoh-tokoh politik yang rasis dan intoleran mendapatkan tempat di banyak negara. Orang tidak menduga Inggris sampai keluar dari Uni Eropa. Semua ini karena ada sentimen imigran Muslim,” katanya pada diskusi NU di Tengah Gelombang Populisme sebagai pembukaan Rapat Kerja Lakpesdam PBNU di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/1).  

Ia menambahkan, orang seperti Donald Trump yang menampakkan ketidaksukaannya kepada imigran dan orang Islam bisa menang dalam pemilu Amerika. “Itu konteks global. Orang menyebutnya dunia bergerak ke arah kanan,” ujarnya.

Gelombang populisme, menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Hanif Dhakiri yang didaulat sabagai narasumber, secara umum, terkait dengan ketidakadilan global. Ia mencontohkan, saat ini hanya 8 orang menguasi separuh aset di dunia ini.

Ketidakadilan lain, menurutnya, negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia dan beberapa sekutunya memiliki peranan yang melampuai kalaziman kepada negara-negara lain.

“Nah, saya kira, ini menjadi salah satu faktor pendorong bagi munculnya semacam pengkondisian populisme yang mencoba merepresentasikan rakyat kebanyakan berhadapan dengan elite-elit politik dan institusi-institusi yang mapan,” jelasnya.

Dalam konteks Indonesia, lanjutnya, watak pejabat yang korup juga menjadi pintu masuknya populisme. Hal itu kemudian diolah pihak tertentu dengan sedemikian rupa baiknya untuk penguatan identitas yang disebut imagine identity.

“Tumbuhnya populisme sekarang ini adalah sebagian respon dari ketidakadilan,” katanya.

Ia mengingatkan, masyarakat harus waspada, populisme itu kadang pada praktiknya adalah populisme tak bertanggung jawab. Populisme semacam itu kadang terlihat bagus, luar biasa, menjanjikan, hebat, tetapi di masa depan bersifat merusak, terutama di sisi kebinekaan.

Narasumber lain, Dadi Darmadi, membidik populisme yang terjadi di Amerika Serikat. Ia mencontohkan pidato pelantikan Presiden Donald Trump yang menyebut ada rakyat Amerika “yang terlupakan.”

Padahal sebelumnya, Prisiden Barrack Obama dikenal sebagai presiden populer. Di masa dia, Amerika mengalami kebangkitan ekonomi. Namun, bagi Trump, ada masayarakat yang tidak terangkul.

Memang, lanjut Dadi, meski ekonomi Amerika bangkit, pengamat ekonomi mengatakan bahwa kesenjangan sosial ekonomi di Amerika tertinggi di dunia. “Isu itu pas sekali. Penguruh ketimpangan ekonomi Amerika menyebabkan menguatnya populisme kanan,” katanya.  

Sementara anggota Ombusdman Republik Indonesia Ahmad Suaedy, situasi semacam itu menyebutnya sebagai meningkatnya politik identitas yang dikombinasi dengan chauvinisme.

“Jadi, saya tidak begitu yakin ini sebagai populisme. Tetapi saya melihat ini gejala patriotisme menuju chauvinisme,” katanya.

Kalau membaca sejarah, lanjutnya, hal itu seperti terjadi akhir abad19 dan awal 20. Ketika terjadi perang dunia satu dan dua, itu adalah patriotisme chavinisme, terutama perang Rusia dan Jerman. (Abdullah Alawi)



Terkait