Arkeolog: Toleransi di Nusantara Sudah Terjalin Sebelum Islam Datang
Kamis, 3 September 2020 | 15:15 WIB
Arkeolog senior Puslitarkenas, Bambang Budi Utomo, pada ‘Dialog Sejarah: Menggali Bukti Hubungan Nusantara-Turki’, Selasa (1/9). (Foto: tangkapan layar)
Jakarta, NU Online
Kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum adanya Islam tidak pernah mengalami tragedi konflik antaragama. Mereka lebih menjunjung tinggi toleransi. Hal ini disampaikan arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas), Bambang Budi Utomo, pada ‘Dialog Sejarah: Menggali Bukti Hubungan Nusantara-Turki’, Selasa (1/9).
Menurut Bambang, sejak masa Sriwijaya dan Majapahit tidak ada bukti konflik peperangan karena agama. Bahkan, masa Majapahit sudah ada pejabat yang mengurusi bidang agama masing-masing.
“Sejak masa Kedatuan Sriwijaya di Nusantara, tidak ada cekcok persengketaan antaragama. Bahkan, di situ toleransi sangat tinggi. Kemudian pada masa Majapahit, ada pejabat-pejabat kerajaan yang berkaitan dengan agama, seperti ada pejabat untuk urusan agama Budha dan Hindu, tidak mustahil agama Islam juga ada di situ,” papar Pak Tomi, sapaan akrabnya.
Kabar selanjutnya, lanjut dia, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit. Ia mengunjungi komunitas Muslim di Majapahit. Dan pada prasasti di Jawa Timur, terdapat komunitas Muslim yang disebut sebagai ‘Warga Kilalan’ atau orang asing.
“Ketika Cheng Ho datang ke Majapahit, ia mengunjungi komunitas Muslim di sana. Dan mungkin sebelumnya di Jawa Timur, ada penduduk beragama Islam, yang dalam prasasti disebut ‘Warga Kilalan’,” ungkapnya.
Selain itu, Tomi mengatakan bahwa meskipun Islam hadir sebagai agama, tetap disambut baik masyarakat lokal. Inilah bukti toleransi leluhur kita. Sebagaimana ditemukan bukti korespondensi Raja Sriwijaya yang beragama Budha kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (bertakhta 717-720 M) dengan permintaan mengirim muballigh untuk mengajarkan agama Islam ke Sriwijaya.
“Bahkan, Maharaja Sriwijaya pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, memberikan hadiah sekaligus meminta untuk mengirimkan muballigh Islam ke Sriwijaya. Ini salah satu bukti bahwa Islam di Nusantara diterima dengan hati terbuka,” tuturnya.
Menurut dia, komunitas Muslim sudah ada sejak masa Sriwijaya disebabkan intensitas perdagangan yang tinggi antara Nusantara dengan dunia Arab, sehingga banyak para saudagar Arab yang menetap dan berinteraksi dengan masyarakat lokal di Nusantara.
Sriwijaya minta muballigh
“Secara resmi, Maharaja (Sriwijaya) minta kepada Khalifah untuk dikirimkan muballigh. Bisa jadi, selain mengajarkan agama Islam, mereka juga minta hukum-hukum pelayaran pada masa itu. Mungkin saja, Persia sudah memiliki tata cara hukum pelayaran dan perairan yang belum diketahui Sriwijaya,” katanya.
“Terbukti, di kemudian hari kita kenal Sriwijaya adalah Negara yang kuat di laut dan mempunyai semacam hukum laut di mana para pedagang lain, kalau mau berdagang di perairan Sriwijaya, harus menggunakan kapal-kapal dari Sriwijaya,” sambungnya.
Bukti toleransi selanjutnya adalah temuan arca Budha-Budhi Satwa yang berpahatkan Dang Acharya Sutta pada masa Sriwijaya. Tulisan ini merupakan gelar untuk pendeta agama Hindu.
“Budhi Satwa adalah arca yang disembah dan dimuliakan penganut agama Budha. Bisa dibayangkan seorang pendeta Hindu menghadiahkan arca Budhi Satwa untuk masyarakat agama Budha. Itukan suatu toleransi yang tinggi,” cakapnya.
Baca juga: Arkeolog Sebut Islam Sudah Ada di Nusantara Sejak Abad ke-10 Masehi
Begitu juga, Islam hadir pertama kali di Nusantara berasal dari Persia pada abad ke-10 yang notabene beraliran Syi’ah. Kemudian diteruskan oleh saudagar Muslim dari Yaman yang beraliran Sunni.
Akan tetapi, lanjut dia, tidak ada bukti konflik antara keduanya. Justru keduanya membaur sebagai ciri khas keislaman di Nusantara.
“Sampai saat ini tidak ditemukan bukti persaingan antara dua aliran itu, atau terjadi percekcokan dan sebagainya. Mereka biasa-biasa saja. Urusan dagang ya dagang, urusan agama beda lagi,” tukasnya.
Acara ini disiarkan secara virtual di kanal YouTube dan Facebook historia.id dengan moderator Bonnie Triyana selaku Pemred Historia.
Kontributor: Ahmad Rifaldi
Editor: Musthofa Asrori