Awal Ramadhan, Gus Baha Pilih Ikut Keputusan Pemerintah, Apresiasi Perbedaan
Jumat, 21 Februari 2025 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) memilih mengikuti pengumuman hasil sidang isbat dari pemerintah terkait awal puasa Ramadhan.
Keputusan Gus Baha tersebut dikarenakan ia ingin menjadi warga negara yang baik. Meskipun begitu, Gus Baha tetap mengapresiasi pihak yang berbeda dalam penentuan awal Ramadhan.
"Kalau saya ditanya sama tetangga, besok puasa atau tidak, saya jawab menunggu pengumuman dari televisi. Saya ikut keputusan negara, karena sebagai warga negara Indonesia," jelas Gus Baha seperti dikutip dari akun Youtube Santri Gayeng, Kamis (20/2/2025).
Gus Baha menambahkan, sebagai orang yang mempelajari ilmu falak, ia mengetahui cara kerja ulama dan ahli falak dalam penentuan awal Ramadhan. Sehingga ia menganggap bahwa perbedaan yang terjadi dalam penentuan awal Ramadhan adalah rahmat dan tradisi keilmuan yang tidak perlu disikapi sampai terpecah belah.
"Saya sampai sekarang ikut pemerintah, tapi tetap membiarkan khas-khasnya ulama dalam berbeda pendapat. Namun, sebagai ulama, saya memperbolehkan perbedaan pendapat," imbuh alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang ini.
Menurut Gus Baha, sikap yang ia pilih merupakan ciri khas ulama. Seorang ulama harus tetap berpegangan pada prinsip bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang hilal, maka biarkan berbeda.
Seorang ulama yang mengetahui ilmu falak bisa memilih ikut hisab yang dilakukan pemerintah atau melakukan hisab sendiri. Sehingga ikut pemerintah atas nama stabilitas nasional. Cuma atas nama ilmunya ulama, yang nama hilal itu pasti khilaf.
"Misalnya seperti tarekat Naqsyabandiyah, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama kan sering berbeda. Itu mengikuti standar gaya ulama. Biarkan saja," imbuhnya.
Gus Baha lalu menjelaskan secara keilmuan dan tradisi ulama, khilaf dalam bab hilal sangat mungkin. Karena ada yang menganggap satu derajat itu sudah ganti tanggal, ada yang berpendapat bahwa harus menunggu rukyatul hilal bil fi'li baru ganti tanggal. Maka tanggal satu akan ada dua versi.
Khususnya, kalau Sya'bannya 29 hari, maka akan muncul perbedaan pendapat, bagi yang menganggap asalkan hilal melewati ufuk, maka sudah dianggap tanggal 1 Ramadhan.
Pendapat lain, baru menganggap ganti tanggal jika hilal sudah 3 derajat atau 2,5 derajat dan baru dianggap masuk Ramadhan. Kalau belum ada 2 derajat, maka Ramadhan ditunda hari berikutnya.
"Asal tidak dalam kasus konteks menyempurnakan Sya'ban 30 hari. Kecuali sudah menyempurnakan Sya'ban 30 hari. Pasti kira sepakat bahwa berikutnya adalah Ramadhan," jelas Gus Baha.
Namun, kata Gus Baha, sebuah negara harus memilih di antara perbedaan, agar ada pegangan. Sehingga bisa menjadi panduan dalam kegiatan dan dasar pengambilan keputusan negara.
"Hanya saja negara tidak boleh, harus milih salah satu. Negara tetap harus memilih satu keputusan. Jadi ini, konstitusi ulama harus lebih tinggi dari lembaga negara dalam bab agama. Bukan berarti ulama tidak ikut negara, tapi tidak ikut juga ada dalilnya," tandasnya.