Tapanuli Tengah, NU Online
Barus, sebuah kota yang terletak di pesisir selatan pulau Sumatra tidak bisa dilepaskan begitu saja tatkala mendiskusikan masuknya Islam ke bumi Nusantara. Di Barus, Islam tercatat sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 M.
Sejumlah arkeolog yang tergabung dalam Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis, berkerjasama dengan para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, berhasil menemukan fakta bahwa pada sekitar abad ke 9-12 M, Barus telah menjadi sebuah padukuhan atau perkampungan multietnis dari pelbagai suku dan bangsa seperti Arab, Aceh, China, India, Jawa, Bugis, Minangkabau dan sebagainya.
Dalam catatan para arkeolog tersebut, Barus juga diidentifikasi memiliki nama lain yakni Fansur. Uniknya, nama Barus sebagai sebuah kota, sudah populer sejak awal-awal abad Masehi. Sejumlah literatur berbahasa Arab, Yunani, Tamil, dan juga China sudah menyebut nama Barus sebagai sebuah kota yang sangat mashur dengan komoditas olahan kayu kamper yang terkenal untuk mengawetkan mayat. Komoditas tersebut kini terkenal dengan nama kapur Barus. Bahkan sejumlah literatur mengatakan bahwa komoditas kapur Barus itu telah diekspor sampai ke Mesir untuk dipergunakan sebagai alat pembalseman mayat pada zaman raja Fir’aun atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.
Dari pelbagai penemuan artefak jejak Islam di Barus itu lahirlah apa yang kemudian oleh para sejarawan disebut sebagai teori Makkah. Teori ini sesungguhnya dimaksudkan untuk mematahkan teori Gujarat yang dipopulerkan orientalis Snouck Hurgronje.
Wakil Rais Aam KH. Miftakhul Akhyar saat dikonfirmasi soal jejak Islam Nusantara di Barus mengatakan bahwa Barus adalah pintu masuk persebaran Islam di Nusantara. Barus adalah pintu gerbang kedatangan Islam yang sampai hari ini masih lestari di bumi Nusantara. “Barus adalah nol kilometer Islam Nusantara. Di sinilah awal mula agama Islam disebarkan sehingga bisa kita imani sampai hari ini,” tandas Kiai Miftah.
Lalu jika benar Islam sudah masuk sejak abad ke-7 Masehi, mengapa barus bisa tersebar secara masif terhitung sejak datangnya Walisongo (sekitar abad 14)?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang diperlukan sebuah studi lebih mendalam. Namun Katib Aam PBNU KH. Yahya Cholil Staquf memiliki pandangan yang patut diketengahkan bahwa sebab utama kurang masifnya persebaran Islam sebelum era Walisongo adalah disebabkan oleh tatanan masyarakat Nusantara yang sesungguhnya kala itu sudah sangat maju. Masyarakat Nusantara kala itu sudah mengenal tradisi catur warna (semacam kasta). Yang menempati derajat paling tinggi dalam catur warna masyarakat Nusantara adalah mereka yang sikap hidup dan kadar ketergantungannya terhadap hal-hal duniawi sangat rendah. Sementara yang menempati kasta paling rendah adalah mereka yang derajat ketergantungan kepada duniawi masih sangat tinggi.
Pedagang, dalam prespektif catur warna masyarakat Nusantara menepati kasta sudra, kasta yang paling rendah derajatanya. Besar kemungkinan dari sanalah bisa dipahami mengapa persebaran Islam pada abad ke-7 yang notabene dibawa oleh pedagang dan importir komoditas rempah dan kapur barus dari Arab tidak semasif tatakala Islam disebarkan oleh para wali yang notabene merupakan “resi” yang bercatur warna Brhamana dalam pandangan masyarakat Nusantara.
“Orang-orang Islam yang datang ke Nusantara pra-Walisongo adalah kaum pedagang. Dalam alam pikiran Hindu yang waktu itu mendominasi peradaban Nusantara, pedagang itu berkasta sudra, bukan golongan orang yang secara normatif perlu diperhatikan dan dipegang omongannya karena dianggap berkubang pamrih,” tandas Gus Yahya. (Fariz Alniezar)