BBM Naik, Pemerintah Kerap Pakai Frasa Penyesuaian Harga, Ini Kata Pakar Linguistik
Ahad, 4 September 2022 | 17:00 WIB
Ilustrasi kenaikan harga BBM yang sering dibahasakan pemerintah dengan penyesuaian harga. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu (3/9/2022). Namun, Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memilih kata 'mengalami penyesuaian' dan 'disesuaikan' pada saat mengumumkan kenaikan harga BBM itu.
Dosen Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Fariz Alnizar menyampaikan bahwa pemilihan kata yang dilakukan pemerintah itu merupakan bentuk eufimisme.
"Jika diamati menggunakan paradigma linguistik, apa yang dilakukan pemerintah merupakan praktik penggunaan eufemisme," kata Fariz kepada NU Online pada Ahad (4/9/2022).
Frasa 'penyesuaian harga', menurut dia, tentu dirasa jauh lebih halus dibandingkan frasa 'kenaikan harga'. Praktik ini sebagai langkah dalam membungkus kebijakannya.
"Sejak zaman dulu, eufemisme memang menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh sebuah Pemerintahan dalam membungkus kebijakan yang dikhawatirkan atau dinilai tidak populis," kata penulis buku Problem Bahasa Kita ini.
Lebih lanjut, Fariz menjelaskan bahwa praktik pemilihan kata dengan cara eufimisme itu akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Sebab, pilihan kata itu karena tampak lebih halus.
"Tentu hal itu punya dampak. Eufemisme merupakan cara untuk membungkus sesuai agar terlihat halus, meski kondisinya tidak demikian adanya," ucap Wakil Rektor Unusia Jakarta itu.
Meskipun demikian, Fariz mengatakan, bahwa dampak persisnya mungkin perlu diukur dan diteliti. Namun, jika dilihat dari polanya, penggunaan eufemisme ini sudah memiliki sejarah panjang.
"Masyarakat juga semakin cerdas. Jadi mereka paham bahwa penyesuaian harga itu maksudnya tidak lain adalah komoditas atau barang yang didagangkan berganti harga alias naik," jelas doktor linguistik lulusan UGM ini.
Fariz menerangkan, bahwa persoalan berbahasa bukan merupakan persoalan menyusun kosakata saja. Ada aspek kompleks yang meliputi peristiwa berbahasa, termasuk di dalamnya adalah soal memilah dan memilih kosakata.
"Sejak dalam pikiran, masing-masing penutur sebetulnya sudah 'berpolitik' dalam memilih kosakata yang dianggap pas dan sesuai dengan maksud yang diharapkan," katanya.
Dari aspek mitra tutur, lanjutnya, tentu memiliki pengaruh yang bersifat kausalitas. Semakin kabur makna yang tercipta, maka semakin besar ruang tafsir yang terbuka bagi mitra tutur untuk memaknai apa maksud penutur.
"Ringkasnya semakin tidak lugas bahasa, maka semakin luas tafsir yang dilahirkan oleh mitra tutur," tandas Fariz.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad