Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Marzuki Wahid saat menjadi narasumber dalam Millenial Youth Camp for Moderate Leader di Bogor Jawa Barat. (Foto: NU Online/Rahman)
Bogor, NU Online
Maraknya kelompok masyarakat yang kerap menyalah-nyalahkan amaliah umat Islam Indonesia harus dipandang sebagai sesuatu kesalahan dalam mempelajari ajaran agama. Kelompok tersebut belum bisa membedakan antara budaya dan ajaran dalam Islam.
Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Marzuki Wahid menuturkan bahwa jelas berbeda antara budaya dan ajaran agama dalam Islam. Untuk memahami keduanya, umat islam dituntut untuk mengerti isi kandungan dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Ia menjelaskan, budaya adalah tradisi yang diciptakan serta dikembangkan oleh umat manusia dalam kurun waktu tertentu. Sementara ajaran agama Islam adalah nilai substansi dari agama Islam yang berasal dari firman Allah.
Ia merinci, budaya dalam Islam seperti shalat menggunakan sarung atau shalat menggunakan mukena. Allah, kata Marzuki, hanya menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa ketika shalat wajib menutup aurat tidak harus dengan sarung dan mukena.
“Sarung dan mukena itu hasil dari kreasi manusia menterjemahkan firman Allah melalui akal manusia,” kata Marzuki Wahid pada kegiatan Millenial Youth Camp for Moderate Leader di Bogor Jawa Barat, Rabu (20/11) sore.
Dosen IAIN Cirebon ini menegaskan, masih banyak budaya Arab yang dianggap sebagai ajaran Islam, padahal prilaku tersebut sebatas budaya masyarakat Arab. Penyebabnya adalah karena Islam diturunkan di Makkah sehingga ajarannya sangat kental dengan kondisi Arab kala itu.
Untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami budaya dan ajaran agama, maka diperlukan pemahaman masyarakat terhadap sumber rujukan Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits Nabi, Ijma’ dan Qiyas, barulah kemudian memposisikan akal dan realitas sebagai instrumen untuk menyimpulkan apa yang dimaksud dari ajaran tersebut.
“Semua itu ‘kan (Al-Qur’an, Hadits) teks, apakah bisa berbicara? Tidak! siapa yang menerjmahkan, manusia! Dan memang selain Al-Qur’an, Hadits masih ada sumber lain, namanya akal. Tidak mungkin tanpa akal Al-Qur’an bisa berbicara. Kita punya potensi di akal tapi kalau hanya membaca Al-Qur’an dan Hadits saja itu tekstual karena butuh banyak pendalaman melihat konteksnya,” ucapnya.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Aryudi AR