Begini Penjelasan Ilmiah Ketentuan Rukyatul Hilal Lembaga Falakiyah PBNU
Selasa, 13 Juni 2023 | 12:15 WIB
Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) mendasarkan penanggalan Hijriah dengan metode rukyatul hilal, yakni observasi bulan secara langsung. Dalam rukyatul hilal ini, terdapat ketentuan yang menjadi dasar penerimaan kesaksiannya atas hilal bisa diterima dan dijadikan pijakan ketetapan penentuan awal bulan Hijriah.
Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menegaskan bahwa penerimaan kesaksian rukyatul hilal harus didasarkan data perhitungan ilmu falak yang sudah menunjukkan bahwa hilal berpotensi untuk dilihat (imkan rukyah, mungkin terlihat).
“Sebagian ulama berpendapat bahwa imkān rukyah menjadi syarat penerimaan kesaksian rukyah,” demikian termaktub dalam Informasi Hilal Awal Dzulhijjah 1444 H, 29 Dzulqa’dah 1444 H / 18 Juni 2023 M.
Baca Juga
Kapan Idul Adha 1444 H?
Jika hasil perhitungan ilmu falak dengan lima metode menunjukkan hilal di bawah kriteria imkan rukyah sehingga kemungkinan besarnya tidak terlihat, maka kesaksian orang yang mengaku melihat hilal ini dapat ditolak.
“Jika sekurang–kurangnya lima metode falak qath’iy yang berbeda menetapkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka ketetapan tersebut menjadi acuan dalam menolak kesaksian rukyah,” demikian tertulis dalam Informasi tersebut.
“Pendapat ini memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dalam penentuan awal bulan Hijriah,” lanjut penjelasannya.
Sementara itu, jika perhitungan ilmu falak menunjukkan hilal masih di bawah ufuk, masih minus atau di bawah 0 derajat, maka bukan lagi sekadar kesaksian itu ditolak, tetapi rukyatul hilal juga tidak lagi fardhu kifayah. Hal ini mengingat tujuan rukyatul hilal adalah memastikan keberadaan hilal, sedangkan perhitungan menunjukkan hilal sudah pasti tidak dapat terlihat karena posisinya yang berada di bawah ufuk.
“Ketika menurut ilmu falak ternyata hilal berada di bawah ufuk, sesuai jawaban pada butir di atas maka rukyah hilal tidak lagi fardlu kifayah atau sunnah. Sebab tujuan rukyah untuk memastikan terlihatnya hilal, sedangkan hilal menurut metode falak tidak mungkin terlihat,” demikian dijelaskan dalam Informasi tersebut.
Oleh karena itu, ketika tidak ada orang yang dapat menyaksikan hilal saat perhitungan ilmu falak menunjukkan sudah di atas ufuk dan memenuhi kriteria imkan rukyah, maka bulan sebelumnya digenapkan menjadi 30 hari (istikmal).
Namun, jika ketetapan penggenapan 30 hari itu dapat berdampak pada umur bulan berikutnya menjadi hanya 28 hari saja, maka tidak perlu ada penggenapan 30 hari sehingga malam itu juga langsung terhitung masuk bulan baru.
“Ketika menurut ilmu falak hilal di atas ufuk dan dipastikan terlihat tetapi tidak seorang pun yang menyaksikan hilal dan ketika bulan berjalan digenapkan (ikmāl) akan mengakibatkan bulan berikutnya berumur hanya 28 hari, maka ilmu falak dapat digunakan acuan dalam menafikan ikmal,” demikian penjelasan dalam Informasi tersebut.
Dalam konteks penentuan awal bulan Dzulhijjah 1444 H, bulan Dzulqa’dah 1444 berpotensi besar untuk digenapkan menjadi 30 hari mengingat ketinggiannya masih di bawah kriteria imkan rukyah, yakni + 0 derajat 59 menit 23 detik dengan elongasi 5 derajat 08 menit 27 detik. Sementara kriteria imkan rukyah adalah tinggi hilal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
Artinya, awal bulan Dzulhijjah 1444 H ada kemungkinan jatuh bertepatan dengan Selasa, 20 Juni 2023 M, sedangkan Hari Arafah 1444 H terjadi pada Rabu, 28 Juni 2023 M dan hari raya Idul Adha akan terjadi pada Kamis, 29 Juni 2023 M.
Namun, umat Islam Indonesia perlu untuk menunggu hasil sidang itsbat dan ikhbar PBNU yang ditetapkan pemerintah pada Ahad (18/6/2023) malam nanti.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi