Nasional

Bencana di Sumatra, Dampak Tata Kelola Hutan yang Buruk, Ekspansi Sawit, dan Deforestasi Masif

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00 WIB

Bencana di Sumatra, Dampak Tata Kelola Hutan yang Buruk, Ekspansi Sawit, dan Deforestasi Masif

Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang di Aceh. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Jakarta, NU Online

Bencana ekologis yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dinilai bukan semata akibat faktor alam. Berbagai pihak menilai peristiwa tersebut merupakan konsekuensi dari buruknya tata kelola hutan dan lahan, yang ditandai deforestasi masif, ekspansi perkebunan skala besar, serta lemahnya pengawasan terhadap izin kehutanan dan perkebunan.


Curah hujan tinggi yang seharusnya dapat diredam oleh ekosistem hutan justru berubah menjadi bencana karena rusaknya kawasan hutan, daerah tangkapan air, dan wilayah penyangga ekologis. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi pihak yang paling terdampak, baik secara sosial, ekonomi, maupun kesehatan.


Sawit Watch menegaskan bahwa bencana di Sumatra tidak dapat dilepaskan dari ekspansi perkebunan sawit yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kajian Sawit Watch bersama MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Lokahita mengenai nilai batas atas (cap) sawit menggunakan pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) menunjukkan Pulau Sumatera telah mengalami defisit ekologis.


“Saat ini luas tutupan sawit di Sumatra telah mencapai 10,7 juta hektare. Angka ini melampaui nilai batas atas atau cap sawit Pulau Sumatra sebesar 10,69 juta hektare, padahal berdasarkan kajian, kebutuhan lahan sawit di Sumatra hanya sekitar 1,53 juta hektare,” tegas Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo dalam keterangannya kepada NU Online.


Ia menambahkan, ekspansi sawit yang terjadi saat ini tidak mencerminkan kebutuhan nyata, tetapi justru memperbesar risiko kerusakan lingkungan dan bencana ekologis. Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur menyebabkan lanskap kehilangan kemampuan alaminya sebagai penyerap air, sehingga memicu limpasan ekstrem yang berujung pada banjir dan longsor.


Sementara itu, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyoroti arahan Presiden terkait pencabutan izin 22 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 1.012.016 hektare, termasuk sekitar 116.168 hektare di Sumatra. JPIK menilai kebijakan tersebut harus menjadi momentum membongkar persoalan mendasar tata kelola kehutanan.


Namun, JPIK menekankan pentingnya keterbukaan informasi terkait nama perusahaan, lokasi konsesi, serta dasar pencabutan izin. Tanpa transparansi tersebut, publik dinilai tidak dapat melakukan pengawasan secara efektif. Karena itu, JPIK mendesak moratorium total penebangan dan penerbitan izin baru di provinsi dengan kondisi hutan kritis dan tutupan di bawah 30 persen, terutama di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) dan sisa hutan alam.


JPIK juga meminta dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin konsesi, mencakup dokumen perizinan, areal, produksi, titik tebang, hingga rantai distribusi kayu. Transparansi peta konsesi, tutupan lahan, serta pergerakan kayu dinilai krusial, termasuk evaluasi Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI) agar verifikasi tidak bersifat formalitas.


“Kegagalan tata kelola hutan di Sumatra diperparah oleh minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan perizinan kehutanan dan perkebunan. Banyak izin terbit tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan fungsi lindung, termasuk di DAS dan kawasan penyangga ekologis,” ujar Direktur Eksekutif Nasional JPIK, Muhammad Ichwan.


Forest Watch Indonesia (FWI) melalui laporan Potret Keadaan Hutan Indonesia (PKHI) 2013–2017 juga telah memperingatkan meningkatnya kerentanan banjir di Sumatra seiring menurunnya rasio tutupan hutan. Kondisi tersebut berdampak langsung pada menurunnya daya dukung dan daya tampung ekosistem. Data FWI mencatat, pada 2024 sisa tutupan hutan di Pulau Sumatera tinggal sekitar 25 persen.


“Kerentanan Pulau Sumatra telah lama diproyeksikan, ditambah paradigma pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan ekologis. Undang-Undang Cipta Kerja turut menjadi instrumen yang menghapus syarat minimal 30 persen tutupan hutan di wilayah DAS,” kata Pengampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni.


Dalam konteks wilayah terdampak banjir besar, FWI mencatat deforestasi di sejumlah provinsi menunjukkan kegagalan sistemik kebijakan kehutanan. Di Provinsi Aceh, misalnya, luas hutan berkurang sekitar 177 ribu hektare dalam tujuh tahun terakhir, atau setara 2,5 kali luas Singapura. Bahkan, sepanjang 2024, Aceh kehilangan sekitar 16 ribu hektare hutan alam.


“Kerusakan hutan dalam skala sebesar ini secara langsung melemahkan fungsi ekologis kawasan, meningkatkan risiko banjir dan longsor, serta mengancam keselamatan masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif FWI, Mufti Barri.


FWI menilai perubahan paradigma pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan ekologis menjadi keharusan. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan kehutanan dan peninjauan kembali izin di kawasan hutan serta DAS, bencana ekologis di Sumatra diperkirakan akan terus berulang. Peristiwa ini dinilai sebagai peringatan serius bahwa krisis ekologis dan kemanusiaan akan terus terjadi jika tata kelola hutan dan lahan tidak segera dibenahi.