Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina, Kota Bekasi, Nyai Hj Badriyah Fayumi mengingatkan semua pihak untuk mencegah praktik perkawinan usia anak. Ia menegaskan, wajib hukumnya bagi semua pihak untuk melakukan hal-hal yang bisa meminimalkan kemudaratan tersebut.
"Kami melihat bahwa persoalan kawin anak ini ada faktor ekonomi, budaya, pandangan keagamaan juga, akses pendidikan. Bukan semata-mata pandangan keagamaan, tapi pandangan keagamaan ini mendukung segala upaya untuk mencegah pernikahan anak ini yang membawa kemudaratan. Karena faktanya memang membawa kemudaratan,” jelas Nyai Badriyah kepada NU Online, Senin (25/10/2021).
Upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan pada usia anak dapat dilakukan antara lain dengan menaikkan batas usia minimal untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Bahkan, kata dia, hal itu telah diatur berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, di mana batas usia nikah yang telah diubah dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
“Para orang tua, wali, yang menikahkan itu seharusnya tetap berpegang pada UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019,” kata Ketua Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.
Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang antara lain menangani masalah anak, UNICEF, kategori anak-anak adalah mereka yang di bawah usia 18 tahun.
Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian.
Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Hal ini artinya sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Hal itu dibenarkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto yang menyebut pernikahan dini masih terus terjadi di Indonesia. Padahal, kata dia, regulasi Indonesia terkait pernikahan dini sudah mengalami kemajuan.
"Kita punya kemajuan dari sisi regulasi. Dulu usia 16 tahun perempuan boleh menikah, namun dengan regulasi terbaru 19 tahun baru boleh menikah," kata Susanto.
Namun, baginya, regulasi saja tidak cukup. Dibutuhkan sosialisasi, edukasi, serta kesadaran dari masyarakat. Negara bersama dengan masyarakat, tokoh terkait dan juga orang tua harus melakukan evaluasi besar terkait tingginya kasus pernikahan dini di Indonesia.
Saat ini, tambah dia, Indonesia menempati peringkat kedua ASEAN dan peringkat kedelapan dunia dengan angka pernikahan dini tertinggi. "Kemajuan regulasi harus dibarengi dengan kemajuan di tingkat kota, terkait dengan pendidikan, terkait dengan edukasi secara simultan, kemitraan dengan tokoh agama di tempat, itu memang penting,” imbuhnya.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin