Demi Upaya Damai, Rasulullah Hapus 7 Kata dalam Perjanjian Hudaibiyah
Jumat, 21 Oktober 2022 | 18:00 WIB
Jakarta, NU Online
Cendekiawan Muslim Indonesia Prof HM Quraish Shihab menceritakan bahwa Rasulullah saw menghapus 7 kata di dalam perjanjian Hudaibiyah. Yaitu bismi, allahi, ar-rahman, ar-rahim, dan Muhammad, rasul, allahi. Hal ini dilakukan Nabi Muhammad demi upaya damai dengan siapa pun, termasuk kaum kafir.
Baca Juga
Lima Butir Perjanjian Hudaibiyah
“Sayyidina Ali yang menulis itu, menurut satu riwayat, enggan menghapusnya. Ketika membaca butir-butir perjanjian itu, Umar bin Khattab berkata, mengapa kita harus menerima sesuatu yang melecehkan (agama) kita,” tuturnya dalam tayangan YouTube Quraish Shibab, Kamis (20/10/2022).
Bahkan, lanjut Prof Quraish, Rasulullah rela membatalkan kunjungan umroh yang sifatnya sunnah demi mencapai dan menandatangani perjanjian itu. “Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa agama Islam tidak menghendaki perdamaian,” tandasnya.
Prof Quraish menuturkan bahwa damai terbagi menjadi dua macam. Pertama, damai yang melahirkan kedamaian masyarakat seluruhnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Syekh Muhammad al-Ghazali, seorang ulama besar di Mesir, mengutip riwayat yang mengatakan bahwa suatu ketika seorang bernama Unwan datang kepada Imam Ja’far Shadiq untuk meminta nasihat. Beliau memberinya 9 nasehat. Namun, Prof Quraish menyebut dua yang berkaitan dengan kedamaian diri dan orang lain.
“Ia berkata, hai Unwan, kalau ada yang berucap kepadamu 10 makian, jangan jawab. Katakan kepadanya, jika engkau berucap 10, engkau tidak akan mendengar dariku satu, karena Al-Qur’an memerintahkan demikian,” terang Prof Quraish.
Kemudian nasihat kedua, jika makian itu benar maka aku memohon semoga Tuhan mengampuniku. Namun, jika makian itu salah maka saya memohon supaya Tuhan mengampunimu. “Itulah contoh yang diberikan oleh Rasulullah dan keluarganya dalam memantapkan perdamaian,” jelasnya.
Keagungan Rasulullah
Prof Quraish mengatakan, berbicara tentang Rasulullah saw merupakan kehormatan yang tidak lagi menyentuh pada Rasul. Akan tetapi, justru menyentuh para pembicara dan para pendengarnya.
“Di sisi lain ketika berbicara menyangkut Rasulullah tidak mungkin seseorang akan mampu menguraikannya, karena betapa pun pandai dan luasnya uraian tersebut tetap saja ada yang tidak dapat terjangkau oleh pengetahuan seseorang,” ujarnya.
“Pengetahuan kita tentang Rasulullah hanya sampai untuk berkata bahwa ia adalah manusia terangung di permukaan bumi ini, bahkan di alam raya,” sambung penulis Tafsir Al Misbah itu.
Menurut Prof Quraish, Rasulullah telah memberi contoh sederhana, namun sungguh amat berharga ketika putra beliau wafat. Orang-orang berkata bahwa matahari dan gerhana dalam keadaan sedih karena kematian putranya, meski bercucuran air mata, beliau tetap memberi pencerahan.
“Kata beliau, matahari dan bulan adalah ayat-ayat Tuhan, tanda-tanda kuasa Tuhan, ia tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Kalau kalian menemukan itu maka bersegeralah mengingat Allah dan shalat,” jelasnya.
Sebenarnya, lanjut Prof Quraish, bisa saja Rasulullah tidak memberikan pencerahan ini, apalagi ketika itu situasi psikologinya cukup sedih tetapi karena tugas beliau adalah memberi pencerahan maka disampaikanlah.
“Di dalam Al-Qur’an, Rasulullah dilukiskan dengan matahari dan bulan. Matahari memiliki cahayanya atas anugerah Allah, tidak bersumber dari siapa pun dan apa pun kecuali dari Allah. Sedangkan bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari, artinya di dalam sosok Rasulullah ada penerangan. Manusia butuh matahari untuk kelangsungan hidup. Kehadiran Rasulullah kita butuhkan sepanjang masa,” pungkasnya.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori