Dialog Cucu dan Mbah Kakung: Kisah Gus Mus Mengaji ke Sang Menantu
Senin, 20 Juli 2020 | 09:30 WIB
Jakarta, NU Online
Suatu ketika, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) sedang asyik menyimak pengajian di salah satu channel YouTube. Rupanya, kegiatan Gus Mus diperhatikan sang cucu, Muhammad Ravi Hamadah. Mustasyar PBNU ini didapati sedang menonton ngaji Ihya’ online-nya sang menantu, Ulil Abshar Abdalla.
Lalu terjadilah sebuah dialog antara Gus Mus dengan Ravi, cucu dari pasangan Kautsar Mustofa Uzmut dan Reza Shafi Habibi. “Lho, Mbahkung ikut ngaji Pakde Ulil?” tanya Ravi penuh keheranan.
“Ya. Kenapa?” jawab Gus Mus singkat dengan tetap menyimak pengajian di YouTube tersebut. Ravi kemudian bertanya kembali dengan sedikit agak ‘protes’ kepada kakek yang diidolakannya itu. "Lho, mbahkung kan juga kiai dan lebih tua," sergahnya.
Mendapati pertanyaan menggelitik sang cucu, kiai karismatik asal Leteh, Rembang ini kemudian menghentikan sementara aktivitasnya menonton pengajian melalui platform medsos YouTube tersebut.
Kepada Ravi, Gus Mus menjelaskan bahwa orang mengaji, mencari ilmu, itu hukumnya wajib bagi setiap orang. Tidak memandang umur dan kedudukannya. Mengaji, mencari ilmu, sambung Gus Mus, itu kepada kiai yang memiliki ilmu.
Dialog antara cucu dan kakek ini kemudian dikisahkan kembali oleh Gus Mus melalui akun Facebook pribadinya, Ahmad Mustofa Bisri, pada Sabtu, 18 Juli 2020 pukul 23.56 WIB. Kisah inspiratif tersebut distatuskan Gus Mus dengan judul “Ravi dan Mencari Pengetahuan.”
Berikut status Gus Mus selengkapnya:
Melihat aku sedang menyimak pengajian Ihyã online-nya anakku Kiai Ulil Abshar Abdalla dari YouTube, cucuku --yang sejak kecil sangat mengidolakan mbahkungnya-- Ravi (Muhammad Ravi Hamädah) tanpa berusaha menyembunyikan keheranannya, berkata: "Lho, mbahkung ikut ngaji pakdé Ulil?"
"Ya; kenapa?"
"Lho, mbahkung kan juga kiai dan lebih tua..." Tampaknya Ravi agak kesulitan mengungkapkan perasaannya secara tepat.
Aku pun 'mem-pause' tayangan rekaman ngaji Ihyã yang kusimak, dan memandang lurus ke kedua mata Ravi yang cemerlang dan lucu, sebelum berkata kepadanya, "Dengarkan mbahkung, Ravi."
Ravi melirikku agak mendongak. "Orang mengaji, mencari ilmu, itu wajib bagi setiap orang. Tidak peduli umur dan kedudukannya. Mengaji, mencari ilmu, itu kepada kiai yang memiliki ilmu. Tidak peduli umur dan kedudukannya."
“Alhamdulillah, di era digital ini, mbahkung bisa mengaji ke banyak kiai dan orang berpengetahuan, termasuk kepada mereka yang lebih muda, tanpa adanya rasa sungkan dari kedua belah pihak.
Lebih bersyukur lagi, di media sosial saat ini banyak kiai-kiai muda yang layak kita serap ilmunya. Di samping pakdé Ulil; sekadar menyebut beberapa nama, ada Gus Bahauddin, Gus Nadirsyah, kiai Syarofuddin, pakde Yahya, dan masih banyak yang lain.
Kalau hanya melihat umur, ya mbahkung tidak bisa mendapat pengetahuan baru dari mereka yang muda-muda ini. Di samping untuk silaturahmi, niat mbahkung bermedsosan ini kan memang untuk menambah pengetahuan.”
Seperti biasa Ravi mendengarkan 'khotbah'ku dengan menunduk dan sesekali mengangguk-angguk. Tapi aku yakin dia 'merekam' apa yang aku katakan.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Zunus Muhammad