Draf RUU Penyiaran Larang Jurnalisme Investigasi, AJI: di Luar Nalar!
Rabu, 15 Mei 2024 | 16:08 WIB
Jakarta, NU Online
Draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, draf tersebut menuai kritik sebab memuat pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers. Salah satu pasal yang menuai kritik ialah Pasal 50 B Ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida menilai pelarangan penayangan jurnalisme investigasi dalam RUU tersebut di luar nalar.
"Kami melihat bahwa rencana untuk menegasikan jurnalisme investigasi itu benar-benar di luar nalar saya dan teman-teman yang lain sebagai jurnalis," ujarnya dalam dalam jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Baca Juga
AMSI Tegaskan Tolak Draf RUU Penyiaran
Ia mengatakan bahwa jurnalisme investigasi adalah strata tertinggi dalam dunia jurnalisme, dan tidak semua orang bisa melakukannya. Menurutnya, jurnalisme investigasi sering membantu aparat keamanan mendapatkan informasi, seperti dalam kasus dana bantuan yang terungkap berkat kerja jurnalis investigasi.
"Jadi saya pikir ini sedikit berlebihan. Jadi kalau bisa tolong ditunda sampai masa kepengurusan DPR yang baru, kemudian melibatkan semua orang sehingga ini bisa tetap mempertahankan kemerdekaan pers kita," pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan. Menurutnya, jurnalisme investigasi merupakan landasan utama dalam praktik jurnalisme. Jika praktik jurnalisme investigasi terganggu, maka masyarakat akan menerima informasi yang kurang akurat dan dangkal.
"Jadi sekali lagi kami bersikap bahwa IJTI menolak pasal-pasal tersebut, lebih baik dicabut saja daripada polemik berlanjut dan merugikan semua pihak," ujarnya.
Sementara itu Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) M Rafiq menilai pelarangan jurnalisme investigasi bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers dan Undang-Undang Pers. Menurutnya, hal itu juga merupakan bentuk diskriminasi terhadap radio dan televisi, karena media tersebut tidak diizinkan membuat produk jurnalistik investigatif.
"Itu bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers, Undang-Undang Pers, dan buat saya itu menjadi diskriminasi terhadap radio dan televisi. Kok radio sama televisi nggak boleh bikin produk jurnalistik investigatif," ujarnya.
Kemudian Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan bahwa pelarangan jurnalisme investigatif sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Kita sebetulnya dengan Undang-Undang 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah, penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional," ujarnya.