Jakarta, NU Online
Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dr Syahrizal Syarif menyebut bahwa mutasi yang terjadi di dalam Covid-19 adalah hal biasa. Corona atau SARS-CoV-2 merupakan jenis virus RNA (ribonucleic acid), yaitu virus dengan materi genetik berantai tunggal.
Menurutnya, virus ini sangat labil sehingga setiap melakukan replikasi atau pembentukan virus biologis selama terjadi proses infeksi di sel target, sudah pasti selalu ada mutasi. Namun selama ini, mutasi-mutasi itu terjadi pada wilayah virus yang tidak begitu penting.
“Misalnya pada ujung-ujung rantai basah, itu biasa saja. Perubahan-perubahan jenis rantai basahnya itu biasa saja. Tapi memang mutasi terakhir itu tidak terjadi pada ujung-ujung rantai basah tetapi terjadi pada tanduk virus (spike) yaitu protein yang membentuk mahkota virus Corona,” jelasnya, kepada NU Online, Kamis (7/1).
Spike tersebut sangat penting di dalam virus. Bahkan perusahaan bidang kesehatan seperti Pfizer, BioNTech, dan Moderna menggunakan spike sebagai bahan dasar pembuatan vaksin.
Syahrizal menjelaskan, basic reproduction rate (angka reproduksi dasar) dari Covid-19 mencapai tiga hingga empat. Maksudnya, satu orang yang terkena Covid-19 bisa menularkan kepada empat orang yang rentan.
Sedangkan jenis virus yang baru itu, angka reproduksinya sekitar 6,8. Artinya, satu orang yang sakit bisa menularkan paling tidak kepada enam orang yang lain.
“Tapi sampai sekarang tidak ada bukti bahwa jenis virus ini lebih menimbulkan gejala virus atau menimbulkan kematian. Mutasi yang terjadi itu pada spike, sementara produsen farmasi itu membuat vaksin berdasarkan spike,” jelas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan ini.
“Secara logika bisa berpengaruh kepada proteksi dari vaksin, terutama Moderna dan Pfizer. Nah, saat ini sedang dilakukan penelitian karena sudah dilakukan vaksinasi pada penduduk di UK (Inggris). Jadi sekarang sedang diteliti Vaccine effectiveness (efektivitas), ini istilah berbeda dengan vaksin efikasi,” sambung Syahrizal.
Beda efikasi dan efektivitas vaksin
Efikasi adalah persentase penurunan kejadian penyakit pada kelompok orang yang divaksinasi. Singkatnya, efikasi menunjukkan kemampuan vaksin tapi masih dalam konteks penelitian atau pada uji klinis tahap ketiga.
Sementara efektivitas vaksin adalah saat sudah dilakukan vaksinasi pada penduduk. Dari situlah akan terlihat seberapa efektifnya vaksin itu. Secara singkat, efektivitas vaksin adalah perlindungan vaksin ketika sudah berada di lapangan.
“Kalau efikasi, perlindungan vaksin di uji klinis. Tapi kalau sudah di lapangan, itu vaksin bisa jadi membawanya rusak sehingga yang disuntikkan bisa rusak atau tidak efektif,” katanya.
Dalam tiga hingga enam bulan ke depan, beberapa negara yang sudah melakukan vaksinasi akan menghitung efektivitas vaksin. Jadi kata Syahrizal, mutasi Covid-19 yang pada September 2020 lalu terdapat di Inggris merupakan isu yang sangat serius.
Oleh sebab itu, katanya, banyak negara yang melakukan langkah preventif atau pencegahan dengan tidak membolehkan warga masuk ke negaranya. Sementara Indonesia sendiri, menutup akses masuk ke dalam negeri baru pada 1 Januari 2021.
“Memang kekhawatiran orang adalah nanti akan menurunkan proteksi vaksin. Tapi walaupun terjadi penurunan itu yang lebih berpotensi justru pada vaksin Moderna dan Pfizer. Karena Sinovac misalnya, lebih ke keseluruhan vaksin. Bahan dasarnya adalah virus yang dimatikan,” jelasnya.
“Jadi walaupun spike itu adalah bagian penting dari proses pembentukan antibodi, tapi mudah-mudahan (penurunan proteksi vaksin) tidak terjadi. Vaksinnya bisa tetap memberikan perlindungan,” harap Syahrizal.
Mutasi Covid-19 diprediksi masuk ke Indonesia
Dilansir dari Kompas, Peneliti Genomik Molekuler Aligning Bioinformatics dan Anggota Konsorsium Covid-19 Genomics UK Riza Arief Putranto memprediksi mutasi Covid-19 yang berasal dari Inggris dengan tingkat penularan lebih tinggi, sudah masuk ke Indonesia.
Arief mengatakan, prediksi tersebut diperkuat dengan lamanya jeda kemunculan mutasi virus dengan diambilnya kebijakan larangan masuknya WNA oleh pemerintah Indonesia. Mutasi yang dinamakan B.1.17 itu muncul lewat pemberitaan pada September 2020. Sedangkan larangan masuknya WNA baru diterapkan pada 1 Januari 2021.
Dengan adanya jeda waktu selama 3-4 bulan memungkinkan adanya sejumlah orang yang bepergian dari Inggris lalu masuk ke Indonesia dan terinfeksi mutasi virus tersebut. Karenanya, kebijakan pemerintah menutup pintu masuk ke Indonesia bagi seluruh WNA sejak 1 hingga 14 Januari dinilai tak cukup untuk mencegah masuknya mutasi Covid-19 itu.
”Saat ini penting untuk memikirkan mitigasinya, bukan hanya pencegahannya,” kata Riza.
Adapun untuk menemukan varian baru ini diperlukan genomic surveillance atau pengawasan genomik. Kini, pengawasan di Indonesia masih sangat kurang sehingga bisa jadi virus ini sudah ada di Indonesia, tapi belum terdeteksi.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor:Muhammad Faizin