Indramayu, NU Online
Nasrulloh Afandi, kiai muda NU asal Indramayu, Jawa Barat berhasil meraih Doktor Maqashid syariah dengan predikat tertinggi, summa cumlaude atau musarrif jiddan (sangat terhormat dengan banyak pujian), Rabu (7/2) di Fakultas Syariah Universitas al-Qurawiyin Maroko.
Gus Nasrul, sapaan akrabnya, dalam disertasinya berjudul al-fikrul al-almaqosidi wa atsaruhu fi fatawa al-majami' al-fiqhiyah al-mu'ashiroh (pemikiran maqashid syariah dan pengaruhnya terhadap fatwa, lembaga-lembaga fatwa modern) mengawali disertasinya dengan argumentasi sebagai berikut:
Bahwa fatwa yang dilandaskan analisis maqashid syariah, adalah solusi tepat dengan beragamnya problematika hukum Islam di tengah masyarakat modern.
Berbagai kasus permasalahan Hukum Islam modern, seiring dengan kemajuan sains dan teknologi yang sering disebut dengan fiqih an-nawazil, atau fiqih al-waqi’iyyah, banyak kasus yang tidak bisa dijawab dengan hukum fiqih hasil ijtihad ulama fiqih tempo dulu, karena banyak kasus yang membutuhkan kepastian jawaban hukum (syariah) di tengah masyarakat modern.
Tetapi kasus semacam itu, belum pernah terjadi di era para Imam Mazhab tempo dulu. Seperti berkembang kian canggihnya ilmu kedokteran, ada kloning gen manusia, cangkok organ tubuh baik dari sesama orang hidup atau dari organ orang yang sudah meninggal, berbagai transaksi ekonomi modern dengan beragam aturan yang kerap bernuansa riba, dan berbagai persoalan fiqih kontemporer lainnya.
Kasus-kasus di atas dominan bisa terjawab dengan fatwa-fatwa yang berdasarkan analisis maqashid syariah. Karena dalam perspektif maqashid syariah, fatwa bukan hanya bicara halal atau haram, tetapi standarnya adalah maslahat atau mafsadath di muka bumi.
Sesuai esensi dari ajaran Maqashid syariah dalam berbagai referensi klasik ilmu maqashid syariah terpercaya, seperti dalam kitab al-Muwafaqot, babon ilmu Maqashid, karya Grand Syekh ilmu Maqoshid, Imam asy-Syatibi.
Inti maqashid syariah, adalah li ri’ayati Masolihil al-Ibad (Menjaga kemaslahatan semua hamba) Dengan tanpa membedakan, apapun agama, suku dan warna kulitnya, semua punya hak merasakan ketentraman.
Dengan analisis maqashid syariah, fatwa akan menjadi menyejukkan, dan memberi solusi tepat kepada publik, realitas dasawarsa ini banyaknya fatwa yang kerap menimlbulkan “Mafsadath” keresahan berskala nasional, di tengah masyarakat modern yang kian kompleks.
Hal itu akibat para mufti kurang teliti mempertimbangkan maslahat atau mafsadat konsekuensi dari sebuah fatwa sebelum fatwa tertentu dipublikasikan ke ruang publik.
Fatwa terkait hal apapun, terutama topik fatwa yang sensitif, seperti fatwa terkait pemeluk agama lain di luar Islam, semestinya jauh-jauh sebelum mengeluarkan fatwa, harus di pertimbangkan dulu secara matang, plus-minusnya (maslahat-mafsadathnya).
Reaksi apakah yang kemungkinan akan terjadi ketika suatu fatwa disodorkan di ruang publik. Jika diyakini bisa menimbulkan keresahan (mafsadah, pen) di ruang publik, maka jangan dipubliksikan fatwa tersebut.
Demikian tulis putra dari KH Afandi Abdul Muin (Pesantren asy-Syafi'iyyah Kedungwungu Krangkeng, Indramayu) mengawali disertasinya. Bersambung...
(Akfas/Fathoni)