Gibran Dorong Energi Hijau Terbarukan, Mahfud dan Muhaimin Singgung Pajak Karbon
Ahad, 21 Januari 2024 | 20:50 WIB
Cawapres 2024 Abdul Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming, Moh Mahfud MD. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)
Jakarta, NU Online
Sesi pertama debat calon wakil presiden (cawapres) keempat, pertanyaan panelis pertama soal pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup dipilih oleh Prof Abarar Saleng menanyakan tentang pembangunan rendah karbon sebagai wujud untuk menghilangkan karbon pada tahun 2060.
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka sebagai penjawab pertama menyatakan bahwa penanganan zat karbon harus diimbangi dengan pembangunan energi hijau, sehingga ketergantungan terhadap energi fosil harus terus dikurangi penggunaannya.
"Kita dorong terus energi hijau yang berbasis bahan baku nabati, seperti yang saya katakan tadi Bio Etanol, Bio Avtur, dan Bio Diesel sekarang sudah terbukti dengan adanya D35 dan P40 ini sudah mampu menurunkan nilai impor minyak kita meningkatkan nilai," kata Gibran di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Ahad (21/1/2024) malam.
Gibran juga akan meningkatkan nilai tambah produksi sawit di dalam negeri dan juga lebih ramah lingkungan. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu menegaskan bahwa tantangannya dalam permasalahan tersebut adalah mencari titik keseimbangan di tengah, yaitu dengan memperhatikan kelestarian lingkungan walaupun harus mengambil energi yang banyak.
"Kita ingin meningkatkan produktivitas petani dan juga sektor maritim, tapi kita juga wajib menjaga keseimbangan alam. Dalam pelaksanaannya tentu Amdal (Analisis dampak lingkungan) wajib, analisis lingkungan wajib, sustainibility report wajib juga. Dan jangan sampai ada alih fungsi lahan yang merugikan pengusaha lokal, UMKM lokal ataupun masyarakat data setempat," katanya.
"Potensi energi terbarukan juga ada energi surya angin, bio energi, panas bumi dan kita punya potensi yang besar sekali, 3.686 giga watt," jelasnya.
Cawapres nomor urut 3 Moh Mahfud MD dan cawapres nomor urut 1 menanyakan terkait pajak karbon dan pelaksanaannya yang dinilai masih jauh api dari panggang. Sehingga, implementasinya dapat berjalan dengan jelas.
"5 tahun dari sekarang untuk emisi dan bersih itu sebenarnya nanti tahun 2060, masih jauh waktunya. Tapi samalah yang kita lihat itu adalah pengelolaan berkelanjutan belum dilakukan sebenarnya dulu ada garis-garis besar haluan berencana yang sudah mengatur seperti yang sangat rinci waktu tahun 1962 atau 1961 presiden mengeluarkan kebijakan itu. Kebijakan insentif dan disintensif ekonomi hijau seperti karbon, pajak limbah, dan sebagainya. Bagaimana?" tanya Prof Mahfud.
"Memang pajak karbon salah satu bukan satu-satunya yang jadi penting adalah dipersiapkan transisi energi baru terbarukan, sayangnya komitmen pemerintah hari ini tidak serius. Target energi baru dan terbarukan yang mestinya punya target 2025, berkurang dari 23 justru diturunkan menjadi 17 persen, penundaan implementasi pajak karbon dilakukan oleh pemerintah hari ini. Dari tahun 2022 diundur jadi tahun 2025. Apanya yang mau dilanjutkan?" tanya Muhaimin
"Karena itu secara tegas dilakukan implementasi pajak karbon dilakukan secepat-cepatnya sekaligus transisi energi baru dijalankan," sambungnya.
Menjawab pertanyaan itu, Gibran membeberkan soal pembangkit listrik tenaga surya sedang dikerjasamakan oleh pemerintahan Joko Widodo. Tidak hanya itu, tapi juga mendorong perusahaan lain untuk berinvestasi di bidang transisi energi hijau.
"Transisi menuju hijau memang tidak murah, sangat costly (memakan biaya) karena beberapa perusahaan belum mencapai ekonomi soft skill tapi yang jelas adalah komitmen kita pasti akan meningkatkan baluran listrik PLN yang 20 persen harus ditingkatkan lagi ke depan, terima kasih," jawab Gibran.