Anggota MPR RI Hilmy Muhammad (Gus Hilmy) saat berbicara dalam Sosialisasi Empat Pilar di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Yogyakarta, NU Online
Pendidikan inklusif harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Sebagai upaya memberikan akses ilmu pengetahuan dan pekerjaan, kita dapat membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society) dan demokratis. Prasyarat utama masyarakat demokratis adalah memiliki prinsip hurriyyah (kemerdekaan) dan musawah (kesetaraan) dalam hal pendidikan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota MPR RI Hilmy Muhammad (Gus Hilmy) dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bertema Merajut Nilai-Nilai Kebhinekaan Melalui Pendidikan Inklusif. Acara tersebut digelar di Gedung KH Abdullah Masduki, Universitas Alma Ata Yogyakarta.
“Melalui pendidikan inklusif diharapkan masyarakat menjadi semakin baik, saling menghormati, dan menghargai harkat dan martabat sesama. Utamanya, memberikan aksesibilitas yang lebih bagi mereka yang berkebutuhan khusus,” ujar Gus Hilmy dalam rilis yang diterima NU Online, Jumat (29/7/2022) malam.
“Terbentuknya tatanan masyarakat inklusif pada gilirannya akan mendorong seluruh warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama. Tidak hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga kesempatan berikutnya, yaitu dalam dunia kerja,” sambungnya.
Menurut pria yang juga anggota Komite I DPD RI tersebut, landasan hukum penerapan pendidikan inklusif ini termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Dengan landasan hukum itu, tidak boleh ada satu pun warga negara yang tidak mendapat akses pendidikan. Data BPS hari ini menyatakan, ada sekitar 10 juta orang penyandang disabilitas di Indonesia. Ini merupakan tanggung jawab bersama,” tegas Gus Hilmy.
“Jika hari ini kita tidak memberi solusi melalui pendidikan, maka ke depan kita harus mau mengurusi mereka dan negara akan terbebani untuk pemberdayaan. Oleh sebab itu, pendidikan inklusif dapat menjadi jalan keluar,” sambung cucu KH Ali Maksum, Rais Aam PBNU periode 1980-1984, ini.
Meski terdapat landasan hukum negara dan ajaran agama, Gus Hilmy berpendapat bahwa hal itu tidak serta-merta membuat masyarakat secara sadar dan adil dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Ia mencontohkan adanya fasilitas publik yang belum peka terhadap akses disabilitas seperti masjid.
Di luar itu, lanjut dia, kita juga harus memberikan kesadaran kognitif kepada masyarakat tentang keberadaan penyandang disabilitas agar memberikan perlakuan yang sama. Masjid kita sebagai fasilitas umum, belum memberikan akses yang baik untuk penyandang disabilitas.
“Padahal kalau Jumatan, mereka ini dihitung sebagai jamaah. Maka takmir masjid perlu memberikan fasilitas yang adil terhadap sesama jamaah” kata pria yang juga salah satu Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Rektor Universitas Alma Ata Yogyakarta, Prof dr Hamam Hadi MS ScD SpGK, serta dua dosen dari kampus tersebut, Dr H Akhsanul Fuadi, dan Dr Muhammad Mustakim.
Inklusivitas kampus
Universitas Alma Ata, menurut Prof Hamam, telah menerapkan pendidikan inklusif. Tidak hanya dalam hal pengakuan dan penerimaan, tetapi juga fasilitasnya. Dari mulai mars Universitas Alma Ata hingga gedungnya, menyiratkan sikap inklusif tersebut.
“Selain pengakuan dan penerimaan atas penyandang disabilitas, kami juga telah menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Meskipun gedung kami berlantai sembilan, namun sangat mudah diakses mereka,” ujar ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Lebih lanjut, Prof Hamam menjelaskan bahwa dalam pembelajaran di Alma Ata, selain menanamkan nilai-nilai akademik, juga menekankan pentingnya nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan kebangsaan.
“Implikasinya kemudian adalah Universitas Alma Ata telah menerima mahasiswa dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Hanya satu provinsi yang belum pernah kuliah di sini. Selain itu, juga menerima mahasiswa dengan berbagai keyakinan. Tidak hanya muslim, yang nonmuslim pun tidak sedikit,” kata Guru Besar UGM ini.
Hal ini dikuatkan pula oleh Akhsanul Fuadi, yang menyampaikan materi terkait Pelajar Pancasila. Menurut Wakil Rektor (Warek) III Alma Ata tersebut, ada enam prinsip yang harus dipegang oleh Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia; mandiri; berpikir kritis; berkebhinekaan global; bergotong-royong; dan kreatif.
“Enam prinsip itu harus tertanam pada diri pelajar atau mahasiswa sebagai pengamalan Pancasila dalam kehidupan akademiknya di kampus,” kata Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut.
Sementara itu, Muhammad Mustakim menyatakan bahwa Empat Pilar yang terdiri dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD NRI 1945 merupakan harga mati sebagai bagian bangsa Indonesia.
Selanjutnya, terkait pendidikan inklusif, Warek I Alma Ata tersebut mensyaratkan adanya nilai dan prinsip pendidikan inklusif.
“Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pendidikan inklusif adalah rekognisi, inovasi, fleksibel, adaptif, dan kerja sama,” pungkas Dosen PAI ini.
Editor: Musthofa Asrori