Gus Ulil: Apresiasi Sains Jadi Salah Satu Jalan Kemajuan NU
Jumat, 30 September 2022 | 18:15 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) beranggapan bahwa salah satu jalan kemajuan dan kemodernan NU adalah mencintai dan mengapresiasi sains atau ilmu pengetahuan, sekaligus terapan dari sains yakni teknologi.
“Sains itu aspek teoritiknya, terapannya adalah teknologi. Ibarat fiqih, teknologi itu adalah fatwanya, hasil akhir. Sains itu ushul fiqihnya. Teknologi adalah produk, sains itu filsafatnya,” tutur Gus Ulil, saat ditemui NU Online di kediamannya, di Jatibening, Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat, belum lama ini.
Kerangka Berpikir Saintifik
Sains dan teknologi sangat penting untuk dikenalkan di pondok pesantren. Sejalan dengan itu, perlu dibangun mindset atau kerangka berpikir yang saintifik. Gus Ulil lantas menjelaskan tentang kerangka berpikir saintifik.
Menurut Gus Ulil, kerangka berpikir saintifik adalah menyadari bahwa alam raya diatur oleh hukum-hukum yang pasti dan bisa diprediksi. Hukum tersebut berlaku di seluruh sudut muka bumi, sehingga tugas manusia adalah menemukan hukum itu untuk menciptakan kemaslahatan.
“Jadi alam raya itu diatur oleh suatu hukum, tugas kita menemukan hukum dan menjelaskan alam raya berdasarkan hukum-hukumnya, tidak berdasarkan mitos atau dongeng. Tugas kita sebagai umat Islam menguasai hukum itu untuk kemaslahatan,” tegas Gus Ulil.
Meski mendorong pesantren untuk mulai mempelajari sains dan teknologi, Gus Ulil tetap menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara umat Islam dengan dunia barat yang menganut sekularisme murni.
“Mereka mempelajari hukum-hukum alam raya ini murni demi dirinya sendiri. Kalau kita, memahami alam raya dan hukum-hukumnya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan memakmurkan ciptaan ini. Ada dimensi spiritualnya,” jelas Gus Ulil.
Selain membangun kerangka berpikir santifik, Gus Ulil berharap agar pesantren mampu menanamkan kecintaan kepada ilmu-ilmu yang meneliti alam, seperti makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan benda-benda yang ada di bumi.
“Problemnya, menurut saya, anak didik kita di Indonesia, mungkin saya salah, mereka mempelajari teknologi tetapi kurang mempelajari filosofi dan paradigma sains-nya. Mereka menguasai coding, informatika, teknik industri tetapi tidak diajari tentang filsafat sains-nya,” ungkap Gus Ulil.
Harapan agar anak didik mempelajari filsafat sains menjadi gayung bersambut, saat Gus Ulil mengetahui bahwa di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, telah didirikan sekolah tinggi teknologi. Hal ini diketahui saat Gus Ulil menghadiri Halaqah Fiqih Peradaban di Cipasung, beberapa waktu lalu.
“Saya ngobrol banyak dengan menantu Kiai Ilyas (pendiri Cipasung), KH Abdul Khobir. Kiai Khobir ini lulusan ITB, jurusan Fisika Murni. Orang Tulungagung. Sekarang dia mendirikan Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung (STTC). Saya senang sekali, karena umumnya kan kalau orang NU mendirikannya STAI, STIT. Sekarang, ini ada pondok mendirikan sekolah tinggi teknologi,” tutur Gus Ulil.
Orientasi Islam Berkemajuan
Meminjam istilah Muhammadiyah, Gus Ulil menyebut bahwa NU saat ini sudah pantas disebut sebagai Islam berkemajuan. Dalam bahasa tokoh Muhammadiyah, Nurcholish Madjid, yakni kemodernan.
“Memang harus kita akui di kalangan NU itu istilah kemodernan agak dijauhi karena identik dengan Muhammadiyah atau kaum modernis. Menurut saya, harus diubah itu. Ke depan, orientasi kita harus modern,” tegas Gus Ulil.
Meski ke depan NU akan menjadi organisasi yang modern, tetapi tetap tidak menghilangkan figur kiai. Hal ini yang perlu dipertahankan agar mematahkan ketakutan-ketakutan warga NU yang menolak kemodernan.
“Problemnya ketika modern, kemudian kharisma tokoh hilang. Itu yang ditakutkan. Ini memang tricky (sulit) menjadi modern yang tidak meninggalkan otoritas kiai,” ungkap Gus Ulil.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi