Gus Ulil Tegaskan Salam Lintas Agama adalah Cara Memupuk Persaudaraan Kebangsaan
Selasa, 11 Juni 2024 | 19:00 WIB
Ketua PBNU Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Halaqah Ulama menyikapi Fatwa MUI soal salam lintas agama di Gedung PBNU, Jakarta, pada Selasa (11/6/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menanggapi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait ijtima ulama soal salam lintas agama.
Ia menegaskan bahwa salam lintas agama yang diucapkan saat seseorang berpidato adalah wujud dari upaya memupuk persaudaraan kebangsaan.
Gus Ulil menyebut bahwa persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah merupakan salah satu dari trilogi ukhuwah (persaudaraan) yang dikemukakan Rais Aam PBNU 1984-1991.
“Salah satu cara untuk memupuk persaudaraan kebangsaan dunia kebijakan yang ditempuh oleh negara adalah mengadakan salam lintas agama,” ungkap Gus Ulil dalam acara Halaqah Ulama yang digelar di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Selasa (11/6/2024).
Gus Ulil juga menekankan pertimbangan mengenai bentuk negara. Ia mengatakan, jika seseorang sudah menerima bentuk negara maka harus juga menerima konsekuensinya dalam hidup bernegara.
“Nah, bagi saya, kita punya hajat di Indonesia ini, yaitu hajat kita memupuk persaudaraan kebangsaan, ukhuwah wathaniyah. Yaitu mengucapkan salam, memang salam yang dibicarakan dalam kutipan Al-Qurthubi tadi itu salam 'asalamualaikum' tetapi salam lintas agama itu kan kalau mau diteliti satu persatu ya intinya salam,” terang Gus Ulil.
Gus Ulil juga mengungkapkan bahwa sebagian besar para ulama IsIam dan para tokoh di dunia IsIam juga menerima berbagai konsekuensi dari diterimanya bentuk negara bangsa (nation state).
“Konsekuensinya antara lain yang paling penting adalah menyangkut kedudukan hukum fiqih bukan syariat, bukan kedudukan hukum fiqih di dalam negara bangsa,” tambahnya.
Namun, Gus Ulil juga menjelaskan bahwa tidak semua hal yang disahkan oleh negara ini sudah pasti sah. Sebab, umat Islam juga bisa saja menawar apabila kebijakan-kebijakan yang diputuskan ada yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.
Sementara itu, Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) berpendapat bahwa persoalan mengenai fiqih adalah persoalan yang rumit sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat.
“Kalimat assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh itu adalah doa, doa yang dalam keputusan MUI itu dianggap ibadah, doa itu ibadah tapi fiqihnya sendiri itu ada persoalan yang rumit,” terangnya.
Gus Ghofur mengatakan, terkait persoalan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya belum jelas) dalam fiqih, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak saling mengkafirkan dalam menyikapi perbedaan.
"Perbedaan antara MUI dan Kementerian Agama sebaiknya dianggap biasa saja. Karena dalam MUI dan Kementerian Agama itu hidup dalam satu ruang yaitu pemerintah. Kita bisa mencontoh perbedaan Fatwa Al-Azhar dan Arab Saudi dalam hal ini. Al-Azhar lebih longgar dalam memberikan fatwa dibandingkan pemerintah Saudi," pungkas Gus Ghofur.