Gus Yahya: Ulama Kita Pertama di Seluruh Dunia Islam yang Berani Sahkan Negara Nasional
Kamis, 5 Oktober 2023 | 06:30 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf Kick Off Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Rabu, (4/10/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Situbondo, NU Online
Kesadaran yang menimbulkan keberanian dan keteguhan untuk mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama antara lain karena para ulama-ulama kita di Nusantara telah ditempa selama ratusan tahun oleh pengalaman sejarah yang luar biasa, yang menjadikan mereka berani berpikir dan menawarkan jalan keluar bagi masyarakat, lebih dari ulama-ulama di berbagai belahan dunia lainnya.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf Kick Off Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Rabu, (4/10/2023).
Menurut Gus Yahya, sapaan akrabnya, hal itu bisa menjadi kajian sosiologis, sosio-historis yang mendalam.
“Tetapi jelas sudah menjadi karakter dari para ulama kita dari dulu. Sehingga, misalnya, ulama-ulama kita ini yang pertama di seluruh dunia Islam yang berani mengesahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Nasional dan bukan negara agama. Pertama kali di seluruh dunia. Ulama yang mengesahkan. Karena ulama-ulama kita ikut tanda tangan, ada wakil ulama kita ikut tanda tangan NKRI ini,” jelasnya.
Menurut alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini, NKRI tak bisa dibandingkan dengan berbagai negara lain di dunia.
“Tidak bisa kita bandingkan, misalnya, dengan Republik Turki, karena Republik Turki itu inisiasi dari orang sekuler yang tidak melibatkan ulama sama sekali. Tidak bisa dibandingkan dengan Saudi, karena Saudi itu satu kabilah, ālu Saud (keluarga Saud), yang kemudian menguasai suatu wilayah di Jazirah Arab,” Gus Yahya mencontohkan.
Ulama Indonesia, sambung cucu KH Bisri Musthofa itu, betul-betul menyatakan bahwa Negara Nasional ini sah. “Bahkan kemudian dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD 1945, bersendikan Bhinneka Tunggal Ika, adalah bentuk final dari upaya umat Islam Indonesia mengenai negara. Dan itu ditegaskan di sini, di Sukorejo ini, pada waktu Muktamar NU ke-27 tahun 1984,” tegas Gus Yahya, sambil menunjukkan jari telunjuknya ke tanah.
Ia berharap, jangan sampai generasi-generasi dari para ulama Nahdlatul Ulama ini kemudian kehilangan keberanian-keberanian dari para ulama terdahulu. “Tentu saja ya termasuk jangan sampai kehilangan ghirrah-nya di dalam tafaqquh fiddin,” ungkapnya.
Menurut Gus Yahya, yang kita butuhkan bukan hanya sekadar rumusan-rumusan fiqhus syariah tentang waqai’. “Kalau bahtsul masail itu kan biasanya ada bahtsul masail diniyah waqi’iyah. Kita butuh lebih dari itu. Kita memerlukan tafaqquh tentang peradaban itu sendiri, tafaqquh tentang strategi untuk memperbaiki peradaban ini dengan inspirasi dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Ini yang kita butuhkan ke depan,” bebernya.
Tampak hadir dalam acara ini Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, Sekretaris Jendral PBNU H Syaifullah Yusuf, Bendahara Umum PBNU Gus Gudfan Arif, Ketua PBNU H Ulil Abshar Abdalla, Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev, pengurus NU, serta ratusan santri.