Jakarta, NU Online
Rais ‘Aam Idarah Aliyah Jami’yah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya menegaskan bahwa pertama, Allah SWT menghendaki Nabi Muhammad SAW menjadi hambanya yang terpilih dan menjadi yang terdepan dari nabi-nabi. Kedua, Rasulullah merupakan sosok ma’shum (terpelihara dari dosa).
“Yang ketiga tidak pernah lahn, yaitu melakukan kesalahan di dalam menerapkan hukum, dalam berdakwah, dan di dalam canda dan gurauannya,” jelas Habib Luthfi.
Hal itu ditegaskan oleh ulama asal Pekalongan, Jawa Tengah ini di dalam bukunya, Secercah Tinta (2012: 55). Menurutnya, perilaku Nabi Muhammad selalu menjaga perkataan. Hal ini yang menjadi salah satu syarat bagi mereka yang mengeluarkan fatwa maupun melontarkan pendapat dan kata-kata.
Pimpinan Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan ini menerangkan, orang yang sering lahn termasuk tidak boleh mengeluarkan fatwa. “Lahn di sini tidak hanya mempunyai arti salah mengucapkan kata-kata, tetapi juga menjawab sesuatu padahal dia sendiri tidak tahu tahu jawabannya atau tidak mantap,” tutur Habib Luthfi.
“Semisal ada yang bertanya tentang hukum dan jawabannya ‘menurut pendapat saya begini’, itu termasuk lahn. Menjawab hukum kok ‘menurut saya’,” imbuh Habib Luhtfi.
Sementara itu, Dosen UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan perkara keturunan nabi atau habaib dengan sumber hukum dalam Islam. Pertanyaan mendasar yang dilontarkan Moqsith ialah apakah para habaib sumber hukum dalam Islam.
“Rupanya ada yang salah paham terhadap status yang saya buat sebelum Jumatan: Apakah Habaib Sumber Hukum dalam Islam?” tulis Moqsith lewat Facebooknya, Jumat (13/11) lalu.
Kiai yang mengasuh pengajian kitab ushul fiqih, fiqih, dan tafsir secara virtual ini menjelaskan bahwa terang benderang ketika dinyatakan bahwa habaib bukan sumber hukum dalam Islam, maka di dalamnya tak ada unsur merendahkan anak keturunan Nabi.
“Justru poinnya adalah untuk menunjukkan ketinggian posisi Nabi,” terang Kiai Moqsith.
Sebab, menurutnya, dalam Islam hanya ada satu manusia yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya menjadi rujukan hukum. “Manusia itu bernama Muhammad Rasulullah SAW,” jelasnya.
“Zaman Nabi SAW tak ada ijma'. Karena Nabi adalah sumber hukum satu-satunya (مرجع التشريع وحده). Dan sekiranya ada aktivitas ijtihad-qiyas oleh para Sahabat, maka hasilnya pun tetap dalam verifikasi Nabi, taqrir Nabi SAW,” tandasnya.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan