Jakarta, NU Online
Komnas Haji dan Umrah akan mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia agar memanggil Menteri Agama merevisi dan merombak PMA agar izin bisnis umrah (mendirikan PPIU) lebih simpel, sederhana, dan cepat tidak harus menunggu 2,5 tahun baru bisa buka bisnis umrah selain itu harus ada modernisasi sistem perizinan.
Demikian rilis yang NU Online terima dari Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, Kamis (9/11) pagi.
“Komnas Haji dan Umrah juga akan menyampaikan surat kepada Menko Perekonomian, Komisi VIII DPR RI, Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) dan Menteri Agama. Diharapkan dengan deregulasi dengan memangkas aturan yang tidak relevan, investasi dan iklim bisnis pada sektor umrah lebih bergairah,” lanjut Mustolih dalam rilis tersebut.
Ia mempertanyakan apa untung (benefit) yang diperoleh pemerintah (Kementerian Agama) dengan mempersulit izin bisnis umrah?
Menurut Mustolih, salah satu stimulus peningkatan ekonomi yang tengah dicanangkan pemerintah adalah memangkas prosedur perizinan yang rumit dan berbelit-belit pada sektor investasi agar lebih cepat, sederhana dan efesien dengan melakukan deregulasi melalui paket-paket kebijakan ekonomi. Sedikit-sedikit iklim dan kemudahan investasi memunculkan optimisme dengan kemudahan dan pemangkasan izin berinvestasi.
Sayangnya paket kebijakan tersebut tampaknya belum menyentuh sektor bisnis umrah. Sektor ini tidak bisa diremehkan mengingat dalam rentang satu musim umrah (satu tahun ada 8 bulan, 4 bulan sisanya musim haji) peredaran uang jemaah umrah mencapai puluhan triliunan rupiah.
Melihat data jemaah umrah pada tahun 2015 mencapai 717.000 orang, pada tahun 2016 mengalami kenaikan sebanyak 818 orang jemah. Jika rata-rata biaya umrah Rp. 25 juta maka perputaran uang Jemaah 20 trilyun-an per musim umrah. Ini angka yang luar biasa besar. Banyak yang meyakini bisnis umrah salah satu sektor yang tahan krisis.
Angka tersebut sebetulnya sangat bisa didongkrak lebih siginifikan apabila pemerintah memberikan kemudahan dengan cara menyederhanakan izin penyelenggaraan bisnis umrah yang dikenal dengan izin Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), terlebih penduduk Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Makin mudah izin diberikan akan makin memberikan dampak positif kepada perekonomian negara.
Namun, saat ini izin untuk penyelenggaraan bisnis umrah yang diatur oleh Kementerian Agama melalui instrumen Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah sudah menjadi rahasia umum dikenal sangat rumit, berbelit-belit, harus melalui birokrasi yang panjang, tidak efesien, tidak efektif dan system yang sudah ketinggalan zaman karena masih menggunakan sistem manual, dari meja pejabat ke pejabat lainnya.
Padahal, birokrasi saat ini dituntut cepat dan efektif melayani kebutuhan masyarakat. Wajar bila Indonesia masih dianggap sebagai negara yang kurang ramah terhadap investasi dan mendapatkan indeks kemudahan investasi (ease of doing business/EODB) masih berada diurutan ke-72 dari 191 negara berdasarkan catatan yang dikeluarkan Bank Dunia.
Dengan aturan tersebut, untuk mendapatkan izin umrah sedikitnya membutuhkan waktu 2,5 tahun. Aturan tersebut dinilai tidak masuk akal, tidak kompatibel dan harus dirombak total. Sulit untuk mencari dasar logika yang masuk akal (ratio legis) terhadap aturan tersebut. Sebab urusan penyelenggraan umrah bukan hanya semata-mata ibadah, tetapi dalam penyelenggaraannya aspek ekonomi sangat dominan.
Terbukti saat ini hanya ada 800-an PPIU yang memiliki izin, itupun 80 persen tersentral berdomisili di wilayah Jabodetabek. Kendalanya tidak lain karena untuk mengurus izin umrah dari daerah harus bolak-balik ke Jakarta yang pasti memakan biaya, waktu, tenaga dan fikiran yang tidak sedikit. Padahal saat ini kita memasuki era digital yang semuanya bisa diringkas dan dipercepat dengan sistem online.
Hal-hal yang memberatkan dan menghambat investasi binis umrah dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 antara lain: Untuk mendapatkan izin Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus masyarakat harus menyiapkan 13 (tiga belas) dokumen yang diurus dari level kelurahan, kecamatan, propinsi hingga ke kantor pusat Kementerian Agama. SK terakhir (IZIN PPIU) diterbitkan dan ditandatangani oleh Menteri Agama. PPIU juga harus memiliki bukti telah melakukan operasional sebagai Biro Perjalanan Wisata (BPW) paling singkat 2 (dua) tahun; memiliki laporan keuangan perusahaan 1 (satu) tahun terakhir dan telah diaudit akuntan publik yang terdaftar dengan opini minimal WDP (Wajar Dengan Pengecualian).
Selain itu, apabila nantinnya akan membuka kantor cabang di luar wilayah domisil harus mengajukan izin kepada kantor wilayah Kementerian Agama setempat. Kewajiban PPIU yang sudah mendapatkan izin membuat laporan penyelenggaraan perjalanan umrah, meliputi rencana perjalanan umrah, pemberangkatan, dan pemulangan meliputi bimbingan ibadah umrah, data keberangkatan dan kepulangan Jamaah, penerimaan dan pengeluaran visa Jemaahyang disampaikan kepada Direktur Jenderal paling lambat 15 (lima belas) hari setelah Jemaah tiba di Tanah Air.
Berikutnya, PPIU wajib menyampaikan laporan akhir tahun penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah dan Kepala Kanwil setempat paling lambat 1 (satu) bulan sebelum musim umrah berikutnya. Semua dokumen-dokumen tersebut harus tersedia dan diurus secara manual.
Mustolih menegaskan panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk mengurus izin PPIU bukan saja membuat investor tidak bersemangat dan investasi mengalami stagnasi, tetapi dapat memicu dampak negatif lain misalnya dalam menciptakan penguatan good corporate governance di pemerintahan karena menstimulasi adanya oknum untuk melakukan pungli atau investor yang ingin izinnya cepat diproses, tetapi dengan menggunakan cara-cara instan tetapi melawan hukum. (Red: Kendi Setiawan)