Jakarta, NU Online
Islam Nusantara sebagai sebuah wacana masih diperdebatkan berbagai kalangan. Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) terus mengkajinya secara akademis dengan menggelar diskusi yang menghadirkan ilmuwan dari berbagai kampus.
Pengajar di Universitas Sanata Dharma, St Sunardi menyebut Islam Nusantara sebagai pengalaman melintas.
"Islam Nusantara yang kita apresiasi lewat berbagai tradisi, seni, dan kebudayaan itu sebetulnya pengalaman melintas, pengalaman menyeberangi sesuatu yang penuh risiko," katanya dalam Diskusi Islam Nusantara Perspektif Filosofis-Historis Kritis pada Ahad (20/6).
Pengalaman melintas, lanjutnya, tidak hanya terjadi di zaman lalu, tapi juga hari ini. Ia mencontohkan sebuah foto patung Gus Dur di Rumah Budaya Karang Klethak. Banyak orang berkunjung dan melihat patung Gus Dur itu.
"Ini dilihat 50 tahun lagi barangkali seperti kita melihat apa yang terjadi pada masa lampau," katanya.
Begitulah Islam Nusantara. Ia melintasi zaman dan berbagai kalangan. "Islam Nusantara adalah jejak kesenian sosial yang menunjukkan Islam melakukan lintasan. Pengalaman melintas bisa kita saksikan hari ini," ujarnya.
Dalam lintasan itu, Islam Nusantara menemui liyan, sesuatu lain yang pada mulanya bukan bagian dari Islam. Hal demikian membuat liyan itu dianggap sebagai ancaman awalnya. "Dalam momen pertama, liyan masih dianggap sebagai ancaman," katanya.
Pada momen temu kedua dan berikutnya, liyan bukan lagi ancaman atau musuh, melainkan sahabat. "Baru momen kedua, kisah untuk menemui liyan tidak lagi dianggap sebagai ancaman atau musuh," katanya.
Sunardi menyebut wayang sebagai satu contoh. Tidak bisa disangkal, katanya, bahwa wayang merupakan bentuk dari sintesa Islam Hindu. "Dalam Wayang, liyan itu ada dalam bentuk tradisi Hindu atau Jawa waktu itu," terangnya.
Hal ini senada dengan yang disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI Suyitno. Menurutnya, Islam Nusantara harus dilihat dari sejarah masuknya Islam di Indonesia. Islam yang masuk ke Nusantara ini memberikan ruang bagi lokalitas.
"Kearifan lokal tidak terpisahkan dari Islam," kata Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan itu.
Selain Sunardi dan Suyitno, diskusi ini juga menghadirkan Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Ahmad Suaedy dan Pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia KH Ulil Abshar Abdalla.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi