Jenis-jenis politik penting diketahui oleh pengurus dan warga NU agar memahami langkah yang harus dilakukan dalam berkhidmah di NU khususnya dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. (Foto: Ilustrasi/Freepik)
Pringsewu, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin periode 2015-2020 menjelaskan bahwa politik (siyasah) dibagi menjadi 2 jenis. Hal ini penting diketahui oleh pengurus dan warga NU untuk memahami langkah yang harus dilakukan dalam berkhidmah di NU khususnya, dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Adapun kedua jenis politik tersebut adalah
1. Politik tingkat rendah (As-Shiyasah al-Adna)
2. Politik tingkat tinggi (As-Shiyasah al-Ulya).
Kiai Ishom menjelaskan politik tingkat rendah atau As-Shiyasah al-Adna, adalah upaya menjadikan sosok ideal yang layak untuk duduk mengelola pemerintaha mulai dari jajaran Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Di antaranya upaya menjadikan kader NU duduk menjadi wakil rakyat untuk kemasalahatan bersama.
"Maka kalau ada kader-kader terbaik dari Nahdlatul Ulama memenuhi persyaratan untuk duduk di legislatif, dukung mereka sampai jadi. Sekali orang NU kompak, semua posisi penting di negara ini akan dipegang oleh kader-kader NU," katanya.
Sementara politik tingkat tinggi (As-Shiyasah al-Ulya) terdiri dari 3 macam, yaitu:
1. Politik kebangsaan
Politik kebangsaan menurut Kiai Ishom menjadi inti dari politik yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama. Politik ini mengusung misi besar menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan jangan sampai terpecah belah.
"Jangan sampai Indonesia yang mayoritas prosentase umat Islamnya terbesar di dunia terkoyak-koyak, tercabik-cabik, terpecah-belah," jelasnya saat memberikan Mauidzah Hasanah pada Peringatan 1 Abad NU tingkat Kabupaten Pringsewu, Lampung di Masjid Baitul Muttaqin Sukamulya Kecamatan Banyumas, Ahad (29/1/2023).
Baca Juga
Perbandingan Politik NU dan Muhammadiyah
Cara untuk menjadikan Indonesia tidak terpecah belah melalui politik kebangsaan ini dilakukan sesuai pepatah 'jadilah seperti dua tangan, jangan menjadi seperti dua telinga'. Setiap elemen bangsa harus senantiasa bersilaturahmi, berkomunikasi, saling tolong-menolong serta saling berpegang erat seperti tangan.
"Jangan menjadi seperti telinga yang hidup di satu wilayah, di satu kepala tapi tidak ada kunjungan satu sama lain," jelasnya.
2. Politik kerakyatan
Menurut Kiai Ishom, politk kerakyatan adalah sebuah usaha untuk menjadikan bangsa Indonesia kuat dan memiliki pemimpin serta birokrasi di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang benar-benar mampu menunjukkan kinerja dalam rangka kemaslahatan bangsa.
Pemerintah dan birokrasi yang ada menurutnya bukanlah untuk mendominasi dan mendzalimi rakyat, namun harus mampu mengacu pada kaidah 'Tasharruful imam 'alar ra'iyyah manuthun bil maslahah, yakni tindakan pemimpin terhadap rakyat itu harus didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.
3. Politik beretika
Politk ini senantiasa memiliki landasan agama dalam menjalankannya. Bukan menjadikan agama khususnya Nahdlatul Ulama sebagai alat untuk berpolitik.
"Politik tingkat tinggi menjadikan agama sebagai landasan etika dalam berpolitik. Sehingga para politisi baik mereka yang ingin duduk di eksekutif maupun legislatif di kemudian hari bukan menjadi orang-orang yang hanya politisi tapi naik derajatnya menjadi negarawan," jelasnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan