Jakarta, NU Online
Dosen Universitas Padjadjaran Ayu Swaningrum menyampaikan bahwa tradisi jimpitan menjadi warisan budaya bangsa yang masih lestari dalam membangun ketahanan sosial masyarakat. Hal itu ia sampaikan dalam Webinar Diskusi Serial Ramadhan dengan tema Crowdfunding, Selasa (11/3/2025).
Ayu menjelaskan bahwa jimpitan merupakan kegiatan pengumpulan dana secara sukarela dari masyarakat untuk keperluan tertentu, seperti acara sosial. Meskipun zaman telah berkembang, tradisi tetap berlangsung di kehidupan masyarakat Indonesia.
“Jimpitan adalah bentuk konkret dari filosofi budaya gotong royong dan saling membantu yang sudah ada sejak nenek moyang kita. Tradisi ini lebih dari sekadar mengumpulkan uang, tetapi juga mengajarkan pentingnya kebersamaan dan saling mendukung di tengah-tengah sosial masyarakat,” ungkapnya.
Ia menyampaikan bahwa jimpitan dilakukan dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan atau uang untuk dikumpulkan dalam sebuah wadah kecil yang biasa terbuat dari bambu atau kantong kecil.
Menurutnya, dinamai jimpitan karena pada mulanya pemberian itu berupa beras yang ditaruh di wadah kecil. Karena biasanya dilakukan oleh anak-anak sebagai sarana edukasi bagi mereka, sebagian berasnya pun berjatuhan ke tanah. Bagian yang berjatuhan itu diambil dengan ujung telunjuk dan ibu jari atau istilahnya adalah jimpit.
Dalam perkembangannya, jimpitan itu berubah dari beras ke uang yang berasal dari sisihan pendapatan masyarakat. “Uang dalam jimpitan ini hasil menyisihkan pendapatan yang biasanya berupa uang koin. Jadi jimpitan ini bukan uang yang Rp100 ribu, tetapi biasanya uang koin yang Rp500 atau Rp1.000,” lanjutnya.
Ayu menyampaikan bahwa jimpitan biasanya dilakukan oleh bapak-bapak di malam hari dan ibu-ibu di siang hari. “Jimpitan ini biasanya dilakukan dua kali, bapak-bapak dilakukan di malam hari sekalian ngeronda, dan ibu-ibu di siang hari, biasanya sekalian pergi ke pasar, menaruh uang koinnya,” katanya.
Ia mengatakan dengan mengumpulkan uang hasil dari jimpitan masyarakat dapat digunakan untuk kepentingan sosial, seperti menjenguk tetangga yang sedang sakit dan memperbaiki fasilitas kampung.
Ia menyampaikan bahwa upacara adat di Bali, masyarakatnya akan memberikan jimpitan untuk membantu biaya upacara keagamaan.
“Bali saat ini masih menjalankan tradisi jimpitan itu, biaya upacara adat di Bali itu berasal dari hasil jimpitan masyarakatnya,” kata mahasiswa doktoral Universitas Leiden, Belanda itu.
Ayu berharap kepada generasi muda untuk tetap melanjutkan warisan budaya jimpitan karena memiliki nilai persatuan dalam masyarakat.