Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tidak bisa melupakan sejumlah momen kebersamaan antara dirinya dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kang Said menyaksikan banyak hal keteladanan yang bisa dipetik dari sosok Gus Dur.
<>
Demikian disampaikan Kang Said saat menyampaikan pidato pada haul ke-6 almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di halaman gedung PBNU Jalan Kramat Raya Nomor 164 Jakarta, Rabu (30/12) malam.
Berbicara tentang kezuhudan Gus Dur, Kang Said mengakui sulit mencari bandingannya. “Saking zuhudnya, Gus Dur tidak punya dompet. Apalagi kartu kredit. Suatu ketika, setelah ngisi di acara Muslimat 1995, ia bertiga dengan saya dan Pak Bagja makan di kaki lima. Saya pikir ya minimal di warung Padang,” ujarnya disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Saat berangkat haji, Gus Dur juga tidak mau tinggal di hotel. “Ia lebih suka tinggal di rumah saya yang hanya dua kamar dengan tiga anak. Tapi ia senang sekali sampai malam ngobrol dengan saya,” ungkap Kang Said.
Bagi Kang Said, itu merupakan contoh akhlak Gus Dur. Betapa besar keulamaan cucu Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari ini. Jika seorang ulama bercermin kepada Gus Dur, kecil sekali keulamaannya. Seorang pemimpin jika bercermin kepada kepemimpinan Gus Dur pun kecil sekali.
“Seorang filsuf kalau bercermin kepada intelektualitas Gus Dur kecil. Bahkan, seorang pendemo sekalipun kalau bercermin kepada semangat Gus Dur kecil. Gus Dur berdemo dalam kondisi masih diinfus,” kata Kang Said.
Saking zuhudnya, ketika menjadi presiden Gus Dur tidak pernah membawa pulang batiknya yang ganti-ganti terus. “Begitu lengser, batik-batik itu dibuang dan dikasih ke orang. Tidak ada yang dibawa,” ujar Kang Said.
Betapa malu, lanjut Kiai Said, seorang sufi mursyid kalau bercermin dengan qana’ah Gus Dur. Kecil sekali. Semuanya kecil di hadapan Gus Dur. “Kalau saya, paling dikritik. Kalau Gus Dur, bahkan diancam. Kalau saya, hanya urusan internal. Kalau Gus Dur itu luar dalam. Beliau dikritik dari internal sekaligus eksternal,” ungkapnya. (Musthofa Asrori/Alhafiz K)