Kasus Perkawinan Anak Masih Terus Terjadi, Berikut Dampak dan Cara Mencegahnya
Kamis, 13 November 2025 | 15:15 WIB
Jakarta, NU Online
Kasus perkawinan anak masih terus dilakukan oleh beberapa orang tua di Indonesia. Faktor pemicu dari adanya perkawinan anak di antaranya ekonomi, hamil diluar nikah, suka sama suka, dan jauhnya fasilitas sekolah menengah atas (SMA).
Siti Mutia Anindita, Psikolog Klinis Anak dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) menjelaskan, langkah konkret yang bisa dilakukan selain penyuluhan yaitu dengan meningkatkan kualitas pendidikan untuk anak-anak. Terutama kaum perempuan di saat anak selalu memiliki kesibukan untuk sekolah atau meningkatkan pendidikan, peluang untuk menikah muda jauh lebih kecil.
"Selain itu, pemberdayaan tingkat ekonomi keluarga juga penting. Banyak kasus pernikahan anak di bawah usia karena faktor ekonomi, jadi kalau keluarga punya penghasilan dan keterampilan yang cukup, mereka tidak akan menjadikan pernikahan sebagai solusi cepat dan instan," kata Siti Mutia Anindita dihubungi NU Online pada Kamis (13/11/2025).
Dalam hal ini, Mutia juga mengimbuhkan bahwa pemerintah perlu memperketat pemberian dispensasi nikah agar tidak disalahgunakan. "Dan yang tidak kalah penting, melibatkan tokoh agama dalam upaya pencegahan, karena suara mereka sering lebih didengar oleh masyarakat," ujarnya.
Harus Matang Emosional dan Psikologis
Menurut Mutia, kesiapan mental seseorang dalam membina rumah tangga itu bukan hanya dilihat dari usia, tapi dari kematangan emosional dan kesiapan psikologisnya.
"Dari seseorang mampu mengendalikan emosinya, dapat berkomunikasi dengan baik saat ada masalah, menjalin relasi sosial dan beradaptasi, serta memiliki arah untuk tujuan hidupnya," ujarnya.
Biasanya hal ini mulai berkembang secara optimal memasuki tahap usia dewasa awal pertengahan usia 20, sekira umur 23 sampai 30 tahun. Sebab, di usia tersebut, seseorang umumnya sudah memiliki serta mengalami pengalaman hidup dan tanggung jawab pribadi.
Selain itu, kesiapan mental seseorang dalam memutuskan berumah tangga, berarti seseorang sudah siap berbagi peran, siap berkomitmen jangka panjang, dan tidak hanya melihat pernikahan dari sisi romantis, tapi juga sebagai kerja sama dengan pasangan yang butuh kedewasaan.
Dampak psikologisnya yang dapat dialami pada anak dan remaja bisa sangat berat dan berlangsung lama. Anak yang menikah di usia dini, apalagi mengalami kekerasan, biasanya akan mengalami trauma, seperti kecemasan yang berlebih, depresi, atau stres pasca-trauma (PTSD), dan gangguan psikologis lainnya.
"Rata-rata mereka memiliki harga diri yang rendah karena merasa tidak punya kendali atas hidupnya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memengaruhi hubungan sosial, mereka akan sulit percaya pada orang lain atau membangun hubungan yang sehat," jelas Mutia.
Walaupun demikian, kata dia, yang lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini bisa menciptakan siklus kekerasan baru. Anak yang tumbuh dalam hubungan kekerasan bisa tanpa sadar mengulang pola yang sama saat dewasa, baik sebagai korban maupun pelaku.
"Pernikahan pada anak yang disertai kekerasan, sangat berisiko terhadap kesehatan mental dan perkembangan psikologis mereka dalam jangka panjang," imbuh Mutia.
Pemerintah hanya Sosialisasi tanpa Pendampingan
Sementara itu, Psikolog Windy Rainata menyebut, kebijakan pemerintah hanya fokus dalam memberikan sosialisasi atau penyuluhan tanpa pendampingan.
"Terkadang kita hanya memberikan informasi luar saja tanpa mencoba melihat alasan-alasan konkret kenapa orang tua dan anak mengambil langkah untuk melakukan pernikahan dini atau pernikahan pada anak selain dari adat istiadat pda beberapa suku atau daerah," ucap Windy dihubungi NU Online, Kamis (13/11/2025).
Padahal, dalam hal ini tindakan preventif yang bisa dilakukan dengan membentuk komunitas remaja produktif yang di dalamnya ada role model yang menunjukkan contoh baik dalam menunda pernikahan serta fokus pda pengembangan pendidikan atau biasa disebut life skill.
"Hal ini menjadi dasar untuk membentuk norma sosial baru di lingkungan dalam menciptakan perilaku dan budaya baru," imbuhnya.
Kata Windy, secara psikologis, perilaku manusia bergantung pada apa dan siapa role model yang ada di sekitarnya, termasuk reinforcement positif (penambahan stimulus yang menyenangkan) sehingga mudah diterima dan ditiru.
"Terlebih ketika alasannya karena ekonomi ya, dengan adanya komunitas ini pada akhirnya akan membangun growth mindset, dan rasa percaya diri bahwa ada alternatif lain selain menikah untuk dapat melanjutkan kehidupannya sendiri di saat orang tuanya kurang mampu mendukung cita-citanya," ujarnya.
Tolok Ukur Layak Menikah
Ia juga menekankan kerja sama antar lembaga swadaya atau komunitas peer support group yang banyak dijumpai secara daring maupun luring guna menguatkan nilai-nilai terkait pernikahan anak, serta memberikan pendampingan psikologis bagi keluarga, dan anak.
"Jika langkah ini dikerjakan, baik orang tua maupun anak dapat meningkatkan self efficacy dan daya sense of control mereka terhadap berbagai tekanan yang kurang tepat terkait keputusan menikah terlalu muda," jelas Windy.
Namun dari segi mental, faktor usia bukan menjadi tolok ukur seseorang layak untuk menikah. Tetapi dikatakan siap menikah ketika seseorang telah melewati fase eksplorasi identitas, bisa membangun hubungan yang stabil tanpa kehilangan dirinya dan kontrol emosi.
"Kalau dilihat dari hal ini biasanya orang akan melewati fase ini diantara usia 20 hingga 40 tahun. Hal ini dapat dilihat dari teori psikologi Erik Erikson yang disebut tahap intimacy melawan isolation," paparnya.
Tahapan intimacy melawan isolation merupakan bagaimana seseorang mampu mengelola emosi.
"Karena kita cenderung untuk menyalahkan orang lain di saat kita tertekan dan emosional sekali, atau kurang mampu memaknai tanggung jawab dan peran yang berbeda setelah menikah dengan sebelum menikah tanpa kehilangan siapa diri kita sebenarnya," sahutnya.
Kendati demikian, jika dilihat dari dampaknya, perkawinan anak dapat menimbulkan proses pematangan yang kurang optimal.
"Apalagi di bagian prefrontal cortex-nya ini tugasnya untuk mengambil keputusan, biasanya di batas usia 25 tahun bahkan menurut penelitian kadang lebih lambat pada laki-laki dalam proses pematangan di bagian otak ini," terangnya
Fase anak- anak cenderung fokus pada reward yang serba instan, belum bisa mengontrol emosi, serta kurang mampu mempertimbangkan persoalan secara rasional yang menyebabkan munculnya perilaku kekerasan yang bisa membuat mereka jadi menyakiti diri sendiri, stress berkepanjangan, serta trust issue terhadap lawan jenis.
Kasus Perkawinan Anak di Rembang
Senada, Yulidar, Subkoordinator Perlindungan Anak Dinas Sosial Kabupaten Rembang, Jawa Tengah mengaku, praktik perkawinan anak masih dilakukan di beberapa kecamatan setempat, baik di daerah perkotaan maupun desa terpencil.
Yulidar, Sub Koordinator Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Rembang mengaku, perkawinan anak dapat dicegah melalui program desa ramah anak, forum anak, dan cita-citaku.
"Dahulu kami bisa mencapai rekor 1.800 anak mengikuti kegiatan cita-citaku di salah satu sekolah negeri di Rembang. Mereka kami edukasi dan beri arahan untuk dapat mengetahui persiapan berkarir pasca lulus SMA," terangnya.
Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri menurut data dari Kementerian Agama Kabupaten Rembang, angka perkawinan anak dari tahun 2023 hingga 2025 terbilang masih banyak.
"Mulai tahun 2023 sebanyak 103 anak, lalu tahun 2024 turun jadi 66 anak, sementara untuk tahun 2025 terakhir update di bulan September menurun jumlahnya 25 anak. Walaupun angka ini cukup menggembirakan, tetapi kami tetap berupaya supaya perkawinan anak tidak meningkat," pungkasnya.