“Ketika masih hidup Gus Sholah banyak menerangi jalan dan pikiran orang di sekitarnya,” kata alumni Program Studi Sastra Inggris Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1988 ini kepada NU Online, Selasa (5/2).
Ia menambahkan, bangsa Indonesia telah kehilangan putra terbaiknya, bagi Amany, ketika tokoh seperti sosok Gus Sholah wafat, ibarat bintang yang jatuh dari langit. Kepergiannya ditangisi seluruh bangsa Indonesia.
Kontribusi gagasan yang ditorehkan Gus Sholah kepada negeri ini amat lah besar. Karenanya, tidak berlebihan jika Gus Sholah disebutnya sebagai insinyur yang kiai, politikus yang santri dan kiai yang shaleh.
“Selamat jalan Gus Sholah, insinyur yang kiai, politikus yang santri, dan kiai yang shalih,” tuturnya.
Dalam setiap perjumpaannya, Hj Amany mengaku selalu mendapatkan ide-ide baru, bagaimana seharusnya seseorang memberikan kontribusinya untuk membangun bangsa Indonesia.
Menurutnya, jasa Gus Sholah sama seperti jasanya Abdurrahman Wahid (kakaknya) dan KH Wahid Hasyim (ayahnya), sangat besar dan tak terhingga.
“Mereka muncul disaat dibutuhkan dan menyebarkan semangat juang hampir merata di seluruh pelosok negeri Indonesia,” ungkap Rektor yang juga Ketua Umum Majelis Ilmuwan Muslimah Indonesia 2014-2018 ini.
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada almarhum Gus Sholah, melapangkan kuburnya, dan menerimanya di surga-Nya,” pungkasnya.
Sebelumnya, tokoh NU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid, atau kerap disapa Gus Sholah, meninggal dunia di RS Harapan Kita, Jakarta, Ahad (2/2), pada 20:59 WIB. Almarhum dimakamkan di kawasan pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Gus Sholah wafat di usia 77 tahun. Ia merupakan saudara presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kiai kelahiran 11 September 1942 ini adalah anak ketiga dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj Sholihah. Selain Gus Dur, saudara Gus Sholah adalah Nyai Aisyah, dr Umar Alfaruq, Nyai Lily Wahid, dan Muhammad Hasyim.
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori