Nasional

Kehilangan Rasionalitas Penyebab Permasalahan dan Konflik

Senin, 22 Januari 2018 | 07:01 WIB

Kehilangan Rasionalitas Penyebab Permasalahan dan Konflik

Anis Sholeh Ba’asyin, KH Abdul Ghofur Maimoen dan Budi Maryono dalam Suluk Maleman

Pati, NU Online 
Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen atau yang karib disapa Gus Ghofur menilai, permasalahan umat dan bangsa sekarang ini lantaran telah kehilangan rasionalitasnya. Hal itulah yang seringkali menjadi banyaknya permasalahan dan konflik.

Pernyataan menggelitik itu diungkapkan putra Musytasyar PBNU KH Maimoen Zubair, Rembang, saat membuka pengajian budaya Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Sabtu (20/1). 

Pria lulusan pendidikan Mesir ini menyebut, ciri umat yang telah kehilangan rasionalitas seringkali memikirkan hal yang remeh-remeh sehingga justru banyak meninggalkan yang lebih besar. Tingkat kehilangan rasionalitas itu bahkan diakuinya sudah masuk ke tataran yang begitu berbahaya.

“Sebisa-bisanya kita harus memasukkan bukan justru mengeluarkan. Tapi pada kenyataan sekarang ini justru sebaliknya,” ujarnya. 

Hal itu dicontohkannya seperti adanya umat yang mengkafirkan sesama Muslim. Hal itu tentu berbeda jauh dengan dakwah orang-orang yang terdahulu. Orang dahulu dinilainya sangat terbuka dan toleran oleh karena itu dirinya menyesalkan umat sekarang ini yang terkesan tertutup pada sesuatu yang baru.

“Jumlah umat Islam itu banyak, tapi malah dikafir-kafirkan sendiri. Itu kan justru mengurangi. Ada umat yang datang ke masjid tapi justru saat mendengar dakwahnya terkesan marah-marah. Indonesia bisa menjadi negara mayoritas karena suka memasukkan bukan malah mengeluarkan,” tegasnya. 

Menurutnya, ilmu fiqih seharusnya tentang bagaimana mencari solusi yang mudah tanpa keluar dari syariat. Dirinya juga mengingatkan jika nabi membenci orang yang mengikuti sesuatu secara buta.

“Menghukumi halal dan haram itu sesuatu yang mudah. Tapi bagaimana kita mengajak pada kebaikan, namun dengan cara yang baik,” ujarnya.

Sesuatu yang patut dipelajari dari orang terdahulu, dikatakannya, seperti tentang sikap terbukanya. Bahkan di era kekhalifahan terdahulu banyak sumber-sumber ilmu baru dari luar yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab. Bahkan lantaran banyaknya buku terjemahan itu sampai bisa dibuat jembatan. Namun orang sekarang justru terkesan takut jika ada sesuatu yang baru. 

“Padahal orang yang tidak punya ingatan tentang masa lalu akan mudah dipengaruhi. Karena tentu orang tersebut tidak punya jati diri,” ujarnya.

Anis Sholeh Baasyin, budayawan sekaligus penggagas Suluk Maleman mengatakan, sekarang ini sejumlah tokoh nampak seolah-olah terlihat saling bertentangan. Padahal ada garis merah yang sebenarnya memiliki tujuan yang sama.

“Sebenarnya kuncinya satu, silaturahim. Itu yang tidak dijalankan. Padahal pertemuan itu dibutuhkan untuk menyatukan perbedaan agar ada kesesuaian dan keselarasan,” ujarnya.

Bahkan di era wali jaman dulu juga seringkali terjadi perbedaan pendapat dan pandangan. Hanya, hal tersebut selalu bisa terselesaikan dengan solusi terbaik karena selalu bermusyawarah.

“Tapi sekarang ini yang terlihat justru soal menang dan kalah,” tambahnya.

Tak hanya itu, dia juga mengatakan jika sekarang ini banyak orang yang tidak bisa menangkap nilai-nilai beragama. Orang tidak akan bisa merasuk jika hanya melihat sesuatu dari kulitnya saja.

“Sebenarnya masih tidak apa-apa jika baru bisa menangkap kulitnya tapi jangan sampai memaksakan ke orang lain,” tegasnya.

Hangatnya diskusi tersebut itupun turut diwarnai dengan pementasan Orkes Puisi Sampak GusUran. Meski sempat diguyur hujan deras, namun ratusan peserta tetap antusias. (Red: Abdullah Alawi)



Terkait