Kekerasan hingga Kesejahteraan Guru Jadi Problem Pendidikan yang Mesti Dibenahi Prabowo-Gibran
Rabu, 23 Oktober 2024 | 10:00 WIB
Diskusi Catatan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Sektor Pendidikan di Rumah Belajar Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Selasa 22 Oktober 2024. (Foto: dok. JPPI)
Jakarta, NU Online
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memberikan lima catatan pada sektor pendidikan yang mesti dibenahi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pertama, pentingnya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Dalam kurun lima tahun terakhir, tren kekerasan di sekolah terus mengalami kenaikan meski peraturan dan satgas telah dibentuk.
“Salah satu faktor kenapa pendidikan di sekolah-sekolah itu kita tidak berkualitas, karena kita tidak pernah serius menanggapi persoalan darurat. Ini peringatan darurat, tapi darurat kekerasan di sekolah,” kata Koordinator JPPI Ubaid Matraji melalui keterangan tertulis diterima NU Online, Selasa (22/10/2024).
Berdasarkan data yang dihimpun JPPI, per September 2024 telah terjadi 293 kasus kekerasan di sekolah. Jenis kekerasan didominasi kekerasan seksual jumlahnya mencapai 42 persen. Disusul perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan 6 persen.
Dalam kasus kekerasan seksual, korban terbanyak adalah perempuan yang mencapai 78 persen, sementara laki-laki 22 persen. Jika dilihat dari sisi pelaku, laki-laki dominan 89 persen, perempuan 11 persen.
Kedua, pemerintah harus menghentikan komersialisasi pendidikan dan memastikan semua warga negara bisa mengakses wajib belajar.
“Jenjang pendidikan yang masuk dalam program wajib belajar, harus dibiayai pemerintah, artinya bebas biaya baik di negeri maupun swasta,” ujar Ubaid.
Catatan JPPI selama 2014-2024, banyak anak putus sekolah lantaran faktor ekonomi. Hingga Oktober 2024 terdapat 4,2 juta anak putus sekolah.
"Ada yang karena disabilitas, ada karena faktor ekonomi, dan yang paling banyak ternyata adalah faktor ekonomi,” jelasnya.
Ketiga, pemerintah mesti meningkatkan mutu pendidikan dasar. Jika berkaca pada skor Programme for Internarional Student Assesment (PISA) yang dikeluarkan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2022, Indonesia berada di urutan kedua terbawah untuk kawasan Asia Tenggara dengan skor 359 untuk membaca, 366 untuk matematika, dan 383 untuk sains.
“Perubahan kurikulum selama 10 tahun terakhir tidak berdampak terhadap kualitas pendidikan kita,” kata Ubaid.
Keempat, mendorong pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Menurutnya, perubahan kurikulum yang terjadi selama ini belum memberikan dampak peningkatan kualitas yang signifikan.
“Jika masalah guru tidak diselesaikan, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia hanya jadi mimpi saja. Gonta ganti kurikulum yang terjadi selama ini belum memberikan dampak peningkatan,” bebernya.
Pada 2023, JPPI mencatat, anggaran pendidikan senilai Rp111 triliun belum terserap dengan baik. Daripada sia-sia lebih baik dimanfaatkan untuk biaya peserta didik, dan peningkatan mutu guru.
“Sebagai contoh antrean PPG guru di madrasah memakan waktu cukup lama, diperkirakan mencapai 50 tahun karena itu jangan sia-siakan anggaran pendidikan,” pintanya.
Kelima, Ubaid mendorong pemerintah untuk memperkuat Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dan memperketat seleksi calon mahasiswa di fakultas keguruan.
“Saat ini siapa saja bisa masuk fakultas keguruan tanpa ada seleksi ketat, sehingga kompetensi lulusannya pun dipertanyakan,” tandasnya.