Yogyakarta, NU Online
Tantangan pesantren dalam merespons persoalan kebangsaan dan keagamaan yang dewasa ini sudah sedemikian kompleks.
Medan pergulatan wacana sudah semakin meluas seiring dengan menguatnya gerakan radikalisme, ekstremisme hingga ideologi Islam Transnasional yang semakin mendistorsi pemahaman keagamaan muslim Indonesia yang lekat dengan nilai serta kearifan lokal.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama H Kamaruddin Amin saat menyampaikan sambutan pada pembukaan pagelaran rangkaian kegiatan Hari Santri 2018. Muktamar Pemikiran Santri Nusantara, Rabu (10/10) sore, di halaman Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Menurut Amin, ada anggapan bahwa Islamisme dan Arabisme yang tumbuh subur di Indonesia merupakan fakta adanya pergeseran identitas masyarakat Indonesia menuju masyarakat hedonis dan sekular. Namun, baginya hal tersebut ternyata bukan satu-satunya faktor utama.
“Beberapa kalangan menilai justru terdapat agenda tersembunyi di balik upaya arabisasi yang belakangan semakin gencar dilakukan muslim radikal dan fundamentalis,” tutur Amin di hadapan ribuan orang yang hadir pada muktamar yang bertajuk Islam, Kearifan Lokal dan Tantangan Kontemporer.
Jika didiskusikan lebih dalam, lanjutnya, sebenarnya banyak sekali penyebab mengapa Islam ala perkotaan telah menjadi tren keberagamaan di kalangan generasi Muslim saat ini. Pihaknya menyoroti hal tersebut pada tiga hal.
Pertama, minimnya pemahaman keagamaan yang dinamis dan toleran untuk mengisi ruang-ruang virtual. Muslim masa kini dapat dikatakan sebagai Muslim milenial yang hidupnya terhubung 24 jam dengan internet.
“Mereka lebih banyak menemukan akar kesadarannya secara virtual dengan melakukan beragama interaksi secara virtual dan terhubung dengan berbagai disparitas, diskriminasi, hingga konservatisme agama,” paparnya
Ia menilai hal itu berakibat para pendakwah yang memiliki pemahaman keislaman yang rigid, konservatif, bahkan cenderung menyerang ruang kearifan lokal dan eksistensi NKRI dengan melayangkan tuduhan heretis yang sangat tendensius.
“Mengisi ruang-ruang virtual agar mudah diakses muslim masa kini dan tampil sebagai idola sekaligus juru selamat dibanding kiai kampung yang membawa pesan damai dalam setiap muatan materi dakwahnya,” tambahnya.
Kedua, minimnya kesadaran untuk mempelajari agama dari sumber rujukan otoritatif. Bagi Amin, mereka lebih suka mempelajari Islam dengan cara yang paling praktis dan enggan berdialektika dengan produk keilmuan masa lalu yang termaktub dalam literatur berbahasa Arab seperti kitab kuning.
Ketiga, konstruksi pemikiran dan epistemologi yang tak terbentuk di kalangan muslim masa kini karena mereka terlanjur meyakini pendapat pemuka agama yang mereka idolakan sebagai sebuah kebenaran mutlak tanpa dikonfirmasi lebih jauh secara ilmiah.
“Mereka tak terbiasa berdialektika dengan penalaran ilmiah maupun penggunaan metodologi untuk menemukan solusi hukum atas persoalan yang dialami masih terasa asing, bahkan untuk sekadar mengetahui dalil atau konteks kemaslahatan apa yang bersarang di dalam pendapat pemuka agama tersebut,” tegas Amin. (M Zidni Nafi’/Muiz)