Nasional

Keniscayaan Perubahan Cara Dakwah Islam di Era Media Sosial

Selasa, 23 Juli 2019 | 07:30 WIB

Keniscayaan Perubahan Cara Dakwah Islam di Era Media Sosial

null

Jakarta, NU Online

Gus Ulil Abshar Abdalla nampak makin sibuk dengan pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali yang ditekuninya. Hampir setiap bulan sekali, Gus Ulil, panggilan akrabnya, ke luar kota untuk menggelar kopi darat (Kopdar) Ihya’ atas undangan kalangan nahdliyyin, santri dan tak jarang kelompok di luar itu yang memiliki ketertarikan dengan Islam yang ramah. Jika tidak sedang menggelar kopdar, ia akan menggelar pengajian secara online memanfaatkan jaringan media sosial.

 

Gus Ulil adalah salah seorang ulama muda Nahdlatul Ulama yang menggunakan jejaring media sosial untuk kepentingan dakwah Islam. Bagi menantu Gus Mus ini, menyebarluaskan pengajian melalui jaringan media sosial adalah keniscayaan yang ditawarkan zaman yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah Islam.

 

Kemudahan mengikuti kajian di tempat yang jauh, tak ditemukan di masa lalu, dan hanya bisa di dapat dengan menggunakan ‘fasilitas’ kemajuan zaman. Maka menurut dia, saat ini, para dai tak punya pilihan lain selain menggunakan media internet tersebut, demi mencapai syiar Islam yang seluas-luasnya.

 

Saat menggelar pengajian di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Mojokerto Jumat akhir pekan lalu, Gus Ulil, panggilan akrabnya, mengajak kalangan santri untuk juga menggunakan fasilitas media sosial demi dakwah Islam, lebih khusus menam pakkan khazanah-khazanah keislaman pesantren. "Era serba digital bagi kalangan pesantren, sudah saatnya menampakkan khazanah pesantren dengan menyebarkan di sejumlah sosial media yang ada," kata Gus Ulil.

 

Dengan mempublikasikan keutamaan pesantren, akan banyak orang yang mengenal pesantren dan kelak, bisa jadi, memilih pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk anaknya. "Banyak orang yang kini mulai tertarik dengan khazanah pesantren," ujar Gus Ulil.

 

Menurutnya, aktivitas berdakwah di media sosial, tidak bertentangan dengan sifat khumul, atau sifat tidak ingin menampakkan segala hal dimilikinya kepada khalayak luas, lantaran sifat riya' yang dilarang agama. "Ulama-ulama NU, sangat erat memegang sifat Khumul, sehingga ulama pesantren malu menampakkan," katnya.

 

Namun, kata dia, perbedaan zaman dan kodisi sosial memaksa kita juga untuk beradaptasi dalam menyampaikan dakwah Islam, terutama khazanah pesantren. Apalagi saat ini, pengguna internet di Indonesia begitu besar hingga mencapai lebih dari separuh populasi.

 

Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia tahun 2018, pengguna internet di tanah air mencapai 171,17 juta, atau 64 persen dari populasi yang mencapai 264,16 juta di tahun itu.

 

Sebanyak 75 persen dari penduduk di kawasan perkotaan merupakan pengguna internet, sementara di kawasan non-perkotaan pengguna internet mencapai 61 persen. Dari ribuan responden yang disurvei, sebanyak 93 persen mengaku setiap hari terhubung dengan internet setiap hari melalui handphonenya.

 

Durasi pengguna internet berbeda-beda. Dalam survei tersebut, kelompok pengguna internet terbanyak mengaku menggunakan internet lebih dari delapan jam sehari, dengan jumlah hingga 19,6 persen dari responden.

 

Secara berurutan, alasan responden menggunakan internet adalah untuk; pertama, komunikasi lewat pesan (24,4 persen), menggunakan sosial media (18,9 persen), mencari informasi terkait pekerjaan (11,5 persen), mencari data untuk kebutuhan pendidikan (9,6 persen) dan seterusnya.

 

Dengan banyaknya pengguna internet, ajakan Gus Ulil untuk menggunakan media Internet sebagai cara berdakwah mutlak kebenarannya. Sudah seharusnya para santri, kata dia, menyebarkan konten Islam ramah melalui jendela internet. Ajakan ini semakin penting jika ditambah fakta bahwa tak sedikit ‘kelompok di luar NU’ yang justru lebih gencar menyebarluaskan visi dan pandangan keagamaannya melalui sosial media, yang tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai pesantren.

 

"Kita harus merebut ruang digital itu untuk merawat pesantren. Filosofi santri belajar dulu bahwa ilmu itu dijemput, sekarang ilmu datang sendiri dengan gratis, sekarang dengan mudah orang belajar secara instan," ungkapnya.

 

Selain itu, konten Islam yang berwawasan kekayaan lokal juga dipercaya dapat menjadi penawar ajaran radikal yang bersifat transnasional dan tak memiliki akar budaya yang kuat di Indonesia. Pendapat itu disampaikan oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Yusny Saby. Menurutnya kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia di berbagai daerah sangat penting untuk menjadi obat atas penyakit radikalisme dan terorisme.

 

Buktinya, sebagai negara yang multikultural, Indonesia terkenal dengan kekayaan budaya, bahasa, dan khazanah agamanya. Melalui kearifan lokal, masyarakat Indonesia bisa hidup damai di tengah abanyaknya perbedaan. Karenanya, di dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika terdapat kearifan lokal berupa ajaran hidup gotong royong, toleransi, kerja keras, dan saling menghormati.

 

Selain dapat dijadikan panduan dalam penyelesaian masalah perselisihan, konflik, kekerasan hingga radikalisme, kearifan lokal juga bisa strategi kultural dalam menyelesaiakan masalah (problem solver), bahkan deteksi dini (early warning system) bagi keberadaan ancaman, termasuk paham radikal.

 

Khazanah Islam pesantren sendiri, tak lain merupakan bentuk perpaduan sempurna dari Islam yang datang dari Timur Tengah dengan kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Dengan mendakwahkan Islam yang telah berpadu dengan kebudayaan melalui sosial media dan internet secara luas, maka secara bersamaan, kita telah melakukan dakwah islam ala pesantren dan berupaya menahan radikalisme masuk ke Indonesia. (Syamsul Arifin/Ahmad Rozali)

 


Terkait