Jakarta, NU Online
Sebuah buku karya Habib Ali al-Jufri berjudul al-Insaniyyah qobla al-Tadayyun (kemanusiaan mendahului keberagamaan) menjadi inspirasi diskusi virtual bertema Humanity Before Religiosity. Diskusi yang disiarkan langsung melalui akun Instagram @marlisafridah dan @agkarim ini lalu diunggah di channel YouTube Marlis Afridah, dua hari lalu.
Sebagai inisiator diskusi, Marlis merasa bahwa kerancuan pemahaman terhadap ‘agama’ dan ‘keberagamaan’ berpotensi menimbulkan kebingungan. Khususnya ketika dihadapkan dengan kemanusiaan. Ia lalu mengundang Dosen Fisipol UGM Yogyakarta, Abdul Gaffar Karim, untuk memberi penjelasan tentang makna dua kata tersebut.
Prof Gaffar, sapaan akrabnya, memaparkan bahwa ‘agama’ adalah noun (kata benda). Sedangkan ‘keberagamaan’ merupakan proses atau cara manusia berinteraksi, memahami, dan mempraktikkan agama.
"Dalam keberagamaan tidak hanya ada agama sebagai value (nilai). Tapi juga ada manusia sebagai episentrum seluruh prosesnya. Kemanusiaan adalah paham yang meletakkan manusia sebagai pusat berpikir. Dalam arti, memuliakan manusia dan melihat manusia sebagai pencapaian atau tujuan," paparnya.
Ia menambahkan, agama tidak bertentangan dengan kemanusiaan. Bahkan, agama adalah esensi kemanusiaan. Sebaliknya, yang bertentangan dengan kemanusiaan adalah keberagamaan sebagian orang karena mereka memilah keberagamaan menurut kepentingannya sendiri. Mereka menjadikan agama sebagai legitimasi.
“Deklarasi kenabian Nabi Muhammad adalah tentang kemanusiaan. Kehadirannya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Begitu juga para nabi sebelumnya yang mengalami kegelisahan ketika melihat kemanusiaan terpinggirkan oleh rusaknya keberagamaan kaumnya,” ungkap pria kelahiran Sumenep Madura ini.
Ketika ditanya Marlis mengenai penyebab keberagamaan dapat terlempar jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, Prof Gaffar menjelaskan betapa berbahaya simbol yang terlepas dari esensinya. Misal, saat pandemi Covid-19 shalat tarawih berjamaah dilarang. Meskipun shalat tarawih hanya ujung dari proses keberagamaan, tidak dikerjakan pun tidak menjadi masalah.
“Namun, orang-orang tidak percaya dan memilih menghiraukan pandemi Covid-19 demi melaksanakan simbol-simbol tersebut dan melupakan esensi yang sesungguhnya," sambung Prof Gaffar.
Marlis kembali berpendapat bahwa keberagamaan manusia secara kolektif merupakan kekuatan besar yang seharusnya bisa berkontribusi terhadap kemaslahatan universal dan pembangunan. Namun, di saat yang sama juga bisa berpotensi merusak. "Bagaimana menurut Prof Gaffar," tanya dia.
"Problematika bukan terletak pada agama itu sendiri, melainkan pada proses manusia memperlakukan agama tersebut. Bisa jadi agama hanya dijadikan legitimasi pembenaran atas tindakan-tindakan tertentu," jawab pria pencinta kemanusiaan ini.
Wilayah ekologis agama
Menurut Prof Gaffar, problemnya terletak pada ekspansi Islam dan Kristen melampaui wilayah ekologis relevannya. Setiap agama memiliki wilayah ekologis relevan masing-masing. Sedangkan, agama-agama besar tersebut sangat sentralistis. Sehingga, penghormatan terhadap ekologi hanya pada wilayah-wilayah relevan atau Tanah Suci.
"Maka poinnya adalah, ada risiko hilangnya relevansi ekologis apabila agama Islam dan Kristen disebarkan melampaui relevansi ekologisnya semula. Hanya karena ada peluang yang disediakan ambisi-ambisi militer dan perdagangan manusia," tambahnya.
Oleh karena itu, untuk menjadikan keberagamaan kembali suportif dengan kemanusiaan adalah dengan kembali pada nilai pendeklarasian Nabi Muhammad, yakni penyempurnaan akhlak.
Menurut dia, setiap manusia sebenarnya punya potensi untuk memuliakan kemanusiaan. Jika dia bisa, maka itu adalah kunci dia menjadi manusia yang baik. Jika dia tidak memuliakan kemanusiaan, melakukan kejahatan dan mengambil nyawa hanya karena perbedaan keagamaan, itu hanya penyimpangan dari aliran keagamaan. Cara untuk menjalankan keberagamaan agar sejalan dengan kemanusiaan adalah dengan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kapasitas yang kita miliki.
"Tuhan tidak membebani manusia melebihi apa yang ada pada diri kita. Jika informasi dan kemampuan kita sedikit, maka Tuhan tidak akan membebani kita dengan tugas kemanusiaan yang berat. Gus Dur, Habib Ali dan beberapa orang lain memang punya kapasitas yang cukup untuk melakukan tugas yang besar," terangnya.
Prof Gaffar menambahkan, cara menjalankan keberagamaan tanpa melupakan kemanusiaan cukup simpel. Jika kita meyakini Tuhan dan keberagamaan, maka sebenarnya yang kita yakini adalah perintah menata hubungan baik dengan sesama manusia. Jika kita memiliki kapasitas besar, maka lakukanlah dengan kebenaran dan kebaikan.
Jika tidak, maka cukup menjadi manusia seutuhnya yang berbuat baik kepada manusia sekitar, jangan sampai justru memanfaatkan agama sebagai alasan untuk memaksakan keinginan kepada orang lain.
"Kita ini beragama dan mengimani Tuhan. Jika dalam diri kita ada suatu pemahaman dan praktik keberagamaan yang tidak sesuai dengan kemanusiaan, maka perlu ditilik lagi proses keberagamaan kita," ujar Marlis sebagai kata penutup.
Di penghujung forum, Prof Gaffar menegaskan bahwa jika agama kita sampai membuat kita benci kepada manusia, maka ada yang salah dengan cara kita memperlakukan agama tersebut.
Kontributor: Nila Zuhriah
Editor: Musthofa Asrori