KH Wahab Chasbullah, Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU
Jumat, 17 Desember 2021 | 21:00 WIB
Bedah buku "Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU: Sang Penggerak Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Chasbullah" yang digelar di Hotel Luminor Pecenongan Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Jakarta, NU Online
Figur KH Abdul Wahab Chasbullah tidak hanya dikenal sebagai ulama inisiator dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama, tetapi juga sebagai peletak dasar tradisi berpolitik NU.
Hal itu diungkapkan Safrizal Rambe dalam bedah bukunya yang berjudul Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU: Sang Penggerak Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Chasbullah yang digelar di Hotel Luminor Pecenongan Jakarta, Kamis (16/12/2021).
“Kiai Wahab Saat menempuh pendidikan di Makkah pada tahun 1913-1915 tidak hanya belajar agama saja, tetapi juga mencari informasi tentang perkembangan sosial politik di tanah air melalui jamaah haji Indonesia, korespendensi dengan keluarga dan orang tuanya,” kata Safrizal saat memaparkan isi dari buku yang ditulisnya tersebut.
Setelah dari Makkah, sambungnya, Kiai Wahab berinisiatif mendirikan satu organisasi Sarekat Islam yang tumbuh begitu kuat dan menjadi populis Islam terbesar di tanah Jawa pada tahun 1913. “Jadi, saat itu sebelum mendirikan NU, Kiai Wahab sudah mendirikan beberapa organisasi, setidaknya tiga organisasi dan satu cabang organisasi Sarekat Islam,” jelasnya.
Baca juga: Hikayat Perjuangan KH Abdul Wahab Chasbullah
Pada kesempatan itu, Safrizal juga menceritakan bahwa buku ini semula untuk memenuhi kebutuhan proses penganugerahan KH Wahab Chasbullah sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2014. Namun setelah selesai tugas, ia justru tertarik menulis biografi karena kagum dengan sosok Kiai Wahab.
“Sebagai dosen dan peneliti, saya mengenal KH Wahab Chasbullah dari berbagai literatur yang ada. Namun setelah selesai tugas, saya berinisiatif untuk menulis biografi. Sebab, saya melihat figur KH Wahab yang luar biasa,” ujar Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional ini.
Safrizal melihat sosok Mbah Wahab sebagai ulama, aktivis, pejuang dinilai cukup kental. Misalnya, setelah dari Makkah, Kiai Wahab langsung terjun di dunia pergerakan yang kemudian menjadi tokoh di balik berdirinya NU. Kemudian ketika NU bersentuhan dengan perkembangan sosial politik masa kolonial.
Hal itu menurut Safrizal memperlihatkan bahwa institusi NU bukan organisasi yang berjarak dengan perkembangan sosial politik. “Kiai Wahab mengatakan organisasi ini didirikan bukan hanya sebatas jam’iyah, tapi juga organisasi yang diniatkan sebagai perjuangan untuk memerdekakan Indonesia. Itu saya gambarkan di buku ini,” paparnya.
Baca juga: 132 Tahun KH Abdul Wahab Chasbullah
Pembanding diskusi, Rektor Universitas Negeri Malang Prof AH Rofi’uddin mengatakan buku ini memiliki rujukan yang saintifik dan teruji, utamanya soal kiprah Kiai Wahab di masa lalu. Seperti yang diungkap buku ini, pada tahun 1920-an, sewaktu terjadi transisi kepemimpinan di Arab Saudi, Kiai Wahab dan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari hadir bukan sebagai penguasa negara, tetapi bisa mengubah pandangan Raja Arab Saudi soal situs sejarah yang semula akan dihapus. “Itu kalau bukan manusia hebat, tidak akan bisa,” tuturnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saiful Umam menyampaikan banyak buku yang sudah ditulis untuk menggambarkan peran yang dilakukan oleh Kiai Wahab Chasbullah khususnya dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, kata dia, yang sangat krusial belum ditulis yakni peran KH Wahab Chasbullah dalam memisahkan NU dari Masyumi kemudian menjadi partai politik sendiri dan muncul menjadi pemenang ketiga.
“Seandainya Mbah Wahab tidak ngotot mungkin NU masih menjadi bagian dari Masyumi dan tidak punya kursi setelah pemilu tahun 1955,” pungkas akademisi yang menamatkan studi dasar dan menengahnya di Pondok Pesantren Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah itu.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syakir NF