Khalwat adalah tradisi dalam tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyepi. Mereka yang menjalani khalwat adalah para pelaku suluk, meskipun esensinya harus dilakukan oleh umat Islam dan kaum beriman secara keseluruhan.
<>
Dalam laku suluk atau tarekat, khalwat merupakan salah satu jenjang yang harus dilalui oleh seorang salik atau sufi, di samping jenjang-jenjang atau maqamat lain seperti taubat, mujahadah, zuhud, dan lain-lain. Di kalangan masyarakat NU, khalwat merupakan tradisi yang popular.
Khalwat secara bahasa berasal dari akar kata khala yang berarti sepi, dan dari akar kata ini praktik khalwat adalah praktik menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu rujukan yang sering digunakan kalangan NU untuk praktik khalwat adalah kitab-kitab sufi yang dikaji di pesantren, seperti Ihya’ Ulumuddin dan Minhajul `Abidin karangan Imam al-Ghazali, ar-Risalah al-Qusyairiyah karangan Imam Abul Karim Hawazin al-Qusyairi; dan kitab-kitab lain dari para imam tarekat.
Para guru sufi yang dijadikan rujukan di kalangan NU, selalu mengaitkan khalwat dengan `uzlah (mengasingkan diri) dari eksistensi keduniaan. Seorang pesuluk harus menempuh `uzlah terlebih dulu, dan kemudian mengantarkannya untuk menempuh khalwat (menyepi).
Secara esensial `uzlah adalah menghindarkan diri dari praktik tercela, dan mengisinya dengan praktik terpuji, dan karenanya bukan untuk meninggalkan tanah air. Orang yang mampu seperti ini akan menjadikan `uzlah dan kemudian khalwat secara berimbang antara hubungan masyarakat dan pendalaman spiritual internal untuk bersambung dengan Allah.
Oleh karena itu, seorang guru besar sufi, Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul `Abidin menjelaskan bahwa orang yang memiliki pengikut dan ilmunya dibutuhkan oleh masyarakat dalam urusan agama, maka orang seperti ini tidak dibenarkan mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat. Maksudnya adalah mengasingkan secara permanen dan konstan secara fisik dengan meninggalkan mereka. Orang yang seperti ini harus kukuh dan berdiri di barisan masyarakat untuk mencerahkan dan membimbing mereka, tetapi hatinya harus tetap bersama Allah. Inilah yang disebut sebagai kemampuan untuk khalwat atau tajrîd (menyepi) yang sukar dilakukan oleh orang, yaitu menyepi dan `uzlah di tengah keramaian.
Pada umumnya, `uzlah dan khalwat dalam pengertian demikian sukar dilakukan, karena seorang pesuluk yang menjalaninya, fisiknya bersama masyarakat dan orang ramai, tetapi hatinya bersama Allah terus-menerus. Tidak semua orang bisa menjalaninya, dan karenanya orang yang tidak bisa melakukan seperti ini, di kalangan masyarakat NU ada yang melakukan `uzlah dan khalwat sebagaimana saran Imam al-Ghazali.
Menurut sang imam, bagi mereka yang posisinya tidak begitu dibutuhkan oleh masyarakat, baik dalam soal ilmu atau keterangan-keterangannya yang bermanfaat, perlu tetap menyambung hubungan dalam hal shalat Jum’at, shalat Id’, shalat berjama’ah, ibadah haji, dalam majelis ilmu, dan dalam tijârah (bisnis). Jalan yang paling baik bagi mereka ini adalah `uzlah dan khalwat selain dari keperluan demikian.
Praktik yang demikian kadang-kadang juga masih sulit untuk memperoleh buah dari `uzlah dan khalwat, karena masih berhubungan dengan orang lain, seperti tijârah, majelis ilmu, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebagian masyarakat NU dan para pesuluk tarekat ada yang benar-benar mengasingkan diri secara fisik dan hati sampai beberapa hari ke tempat yang sepi. Pengasingan diri dan kemudian menyepi untuk hening diperlukan, karena pergaulan dengan makhluk, tidak sedikit yang memalingkan pesuluk dan menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam hati; dan karena kebanyakan manusia juga mengajak kepada bermalas-malasan untuk beribadah, menempuh jalan bening, dan malah mengajak pada riya’.
Pengasingan diri dan menyepi secara fisik, kemudian diikuti laku esensi `uzlah dan khalwat-nya, sangat dibutuhkan oleh orang-orang seperti ini.
Praktik khalwat dalam bentuk pengasingan diri dan menyepi secara fisik ini, dalam tradisi pesuluk di kalangan masyarakat NU, biasanya dilakukan beberapa hari, minimal ada yang 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan lain-lain. Karenanya, tetap saja praktik pengasingan diri secara fisik bukan praktik permanen, karena dilakukan beberapa hari seperti disebutkan. Yang permanen adalah menjalani esensi `uzlah dan khalwat, yaitu memperoleh hakikat hening dan persambungan kepada Allah: menyepi dari perilaku tercela dan mengisinya dengan perilaku yang baik.
Dengan keheningan dalam khalwat dan `uzlah, tidak jarang muncul musyahadah dan pengalaman-pengalaman spiritual yang menambah kukuhnya pesuluk untuk terus menapaki jenjang berikutnya menuju Allah dan bersama-Nya.
Di dalam berbagai tarekat yang ada di NU, laku khalwat jenis ini ada dalam bimbingan para mursyid, sehingga para murid (pesuluk) menjalaninya atas arahan dan bimbingan dari para guru. Orang yang sudah menjalani khalwat dan `uzlah, secara batin dan lahir harus menjadi lebih baik dalam lakunya. Kebalikan dari ini, dianggap sebagai kegagalan dalam laku khalwat dan `uzlah, dan seorang pesuluk harus mengulang lagi. (Sumber: Ensiklopedia NU)