Nasional

Kiai Said: Islam Lestarikan Tradisi Lokal

Rabu, 23 Oktober 2019 | 08:05 WIB

Kiai Said: Islam Lestarikan Tradisi Lokal

Foto: Ahmad Labib

Jakarta, NU Online
Kebudayaan dan agama Islam tidak serta merta bertentangan, saling berseberangan. Sebaliknya, keduanya menjalin simbiosis mutualisme. Kehadiran Islam justru memberikan peluang adanya transformasi kebudayaan dengan cara melakukan afirmasi dan akomodasi terhadap kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada.

“Karena itulah, tak heran jika sejumlah tradisi tetap dipertahankan bahkan disyariatkan,” kata KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam rangka Hari Santri 2019 di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10).

Haji, misalnya, yang pada mulanya merupakan ritual yang dilakukan oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Ismail. Laku demikian itu pun diakomodasi oleh Islam sebagai sebuah hal yang wajib dilakukan bagi mereka yang berkemampuan sebagai bentuk napak tilas perjalanan mereka. Pun dengan puasa yang sudah dijalankan oleh para nabi dan umat-umat terdahulu seperti Nabi Musa dan Siti Maryam.

“Begitu juga, ketika Islam datang ke Nusantara. Islam yang dibawa dan diajarkan oleh para Walisongo bukan dengan cara memberangus kebudayaan dan tradisi yang ada, melainkan menjadikan kebudayaan sebagai instrumen dakwah,” terangnya.

Hal tersebut berdampak pada menyatunya Islam dengan kebudayaan setempat. Dalam kerangka inilah, jelasnya, Islam Nusantara dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama.

“Kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat tidak serta merta ditolak, tetapi justru menjadi infrastruktur dakwah,” terang Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu.

Menara yang banyak dijumpai di masjid-masjid pada mulanya hal tersebut bukanlah arsitektur Islam, melainkan berasal dari agama Zoroaster. Tetapi, Islam tidak menolak keberadaan menara begitu saja, tetapi memodifikasinya sehingga menara sampai hari ini tetap digunakan sebagai arsitektur masjid pada umumnya. Padahal, menara berasal dari kata manarah yang berarti tempat api. Namun, apinya dibuang, dan bangunannya tetap dipertahankan.

Sikap demikian ini tentu saja bukan tanpa dasar yang absah. Mengutip Al-Qur’an Surat al-An’am ayat 108, Kiai Said menerjemahkannya sebagai berikut, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan